Humor Seksis: Tidak Lucu, Tidak Bemutu


ilustrasi: pexel

LPM Saka - ‘’Kamu suka buku? Di kamar saya banyak buku loh, brarti kamu pasti suka ya kalo di kamar saya?’’ ucap seorang lelaki berperut kapitalis yang mencoba membercandai saya secara dangkal. Secara empiris, ini bukan pertama kalinya, saya menghadapi diksi-diksi yang mengarah kepada tendensi seksisme. Seketika, raut wajah saya mendadak murung dan melakukan bombastik side eyes. Hal ini merupakan gesture sikap atas penolakan saya terhadap humor seksis yang kerap dinormalisasikan. 


Saya tiba-tiba teringat dengan tulisan Soe Hok Gie pada Minggu, 24 februari 1963. Ketika ia sebagai anggota delegasi pemuda-pemuda yang setuju dengan asimilasi dan tengah minta restu dari Soekarno. Saya sekarang mengerti bagaimana perasaan Soe Hok Gie kala itu, menyimak perbincangan politisi yang melontarkan humor dengan mop-mop cabul, punya interest yang begitu immoral. Bagaimana ada pertanggung jawaban sosialisme melihat negara dipimpin oleh orang-orang yang semacam itu? Tulis Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran. 


Lain momen, suatu ketika ada jurnalis perempuan yang berhasil memperoleh informasi eksklusif, kemudian rekannya mengapresiasi dengan cara melontarkan sebuah celetukan, ‘’Keknya kamu dapet info itu sebab tidur dengan narasumbermu ya?’’ lalu orang-orang yang mendengarnya tertawa. Lagi-lagi mereka bersembunyi dibalik kata ‘’bercanda’’ untuk melecehkan objek candaan secara verbal. 


Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwasanya bercandaan yang seksis bukanlah sebuah hal yang lucu melainkan sebuah pelecehan secara verbal. Humor seksis didefinisikan sebagai humor yang mengandung unsur penghinaan, karena adanya rangkaian kata yang bermaksud merendahkan, mengobjektifikasi, memberikan stereotip, dan memperdaya seseorang berdasarkan gendernya. Humor seksis juga termasuk sebuah disparagment humor, sebuah humor yang dimaksud untuk merendahkan beberapa kelompok sosial tertentu. 


Dalam ranah perkopian yang seharusnya menjadi tempat transaksi intelektual paling efektif bagi dunia mahasiswa, berdialektika dengan dihiasi humor memang salah satu strategi komunikasi yang cerdik, sebab kita bisa memberikan pengaruh pemikiran dengan cara akurat yang mengesankan nalar, melalui momentum menyenangkan. Perlu digaris bawahi bahwasanya tujuan dari humor adalah agar pendengarnya terhibur, setiap orang pun kerap memiliki selera humor yang berbeda-beda. Dari sini, bisa kita lihat, bagaimana kondisi society kita ketika mereka bisa terhibur di atas pelecehan, sebuah sikap yang kurang terpelajar. 


‘’Baperan banget sih, bercanda doang!’’

Salah satu ciri-ciri manusia yang manusia seutuhnya adalah ia yang dibekali empati terhadap manusia yang lainnya. Para oknum yang gemar melontarkan humor seksis dapat dipastikan mereka tidak memiliki kemampuan untuk merasakan bagaimana perasaan korban yang dijadikan sebagai objek bercandaan. Korban menjadi serba salah, ketika korban terdiam maka dianggap menerima humor tersebut sebagai suatu kewajaran, ketika melawan dan menyatakan bahwa hal tersebut tidak pantas, mereka akan play victim bahkan victim blaming dibalik kata ‘’Baperan banget sih, bercanda doang.’’ 

Turut berduka cita atas kematian moral segenap oknum manusia yang kurang  manusia. 


Sudah saatnya pembenaran atas kalimat seksis tidak lagi dinormalisasikan, perlu adanya edukasi secara masif demi terciptanya lingkungan yang sehat, sehingga ketika humor seksis mulai kembali digaungkan, pelaku seharusnya memiliki self awarness untuk meminta maaf setulus-tulusnya, jera dan malu atas sikap-sikapnya. 


Menghadapi situasi seksisme

Berani bersikap tegas ketika mendengar dan menyaksikan humor seksis memang lah tidak mudah, perlu keberanian yang teguh, apalagi di tengah masyarakat yang patriarkis. Ya, meskipun humor seksis tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas korban humor seksis adalah perempuan. 


Kadangkala kita merasa takut menyinggung dan takut tidak diterima kembali oleh lingkungan, padahal sejak awal kita lah yang telah merasa tersinggung oleh lingkungan itu sendiri. Suatu ketika saya pernah menyaksikan pelecehan secara verbal dan sekumpulan manusia itu mengganggap hal tersebut telah menjadi habbit untuk mencairkan suasana. Celakanya korban tidak merasa bahwa bahwa hal tersebut merupakan sebuah bentuk pelecehan.

 

Padahal, diksi-diksi yang diperbincangkan sudah sedemikian vulgar dan tak senonoh, saya bertanya-tanya, sebetulnya korban ini terlalu polos, kurang edukasi, atau telah pasrah dan merasa percuma jika melawan? 


Saya dicekoki oleh berbagai argumen, ‘’Kunci dari pelecehan  itu kan di consent (izin), ngapain kamu repot-repot membela orang yang enggak mau dibela? Wong doi (korban) terima-terima aja, enggak usah idealis banget, apa-apa dibikin serius, kaku, nanti kamu yang ga diterima oleh society.'’ 


Saya mencoba untuk mencerna kalimat tersebut, namun tidak kunjung diterima oleh moralitas nalar saya. Sebab dalam komnas perempuan dimuat secara jelas, bahwa terdapat lima belas bentuk kekerasan seksual dan salah satunya adalah seksual harasment. 


Begini bunyi poin tersebut : pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 


Dari sini sudah gamblang indikasinya, saya punya pedoman sikap yang jelas, landasan yang berdasar. Bukan sekadar bualan atas dorongan sentimental. Maka dari itu, mari tidak tertawa akan humor yang tak bermartabat. (*)


Tim Redaksi : Lubna Laila


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post