Ilustrasi : Pinterest.com
Cerpen -
Langit
terlihat kacau. Dunia seakan suram tak berpenghuni. Awan hitam menyelimuti
lentera cahaya senja. Kabut pekat menyerang mentari di ufuk barat, mendorong
mentari untuk cepat hilang dari penglihatan. Jeritan kutilang semakin menjadi
bagaikan tersiksa oleh gelap yang tak bercahaya keemasan. Guguran mahkota mawar
yang mengering dan melayu tanpa kehidupan. Dan aku berdiri sendiri meneduh di
bawah pohon kuburan hatiku. Bersama angin yang terus menusuk rusuk hingga
terasa menyakiti relungan jiwa yang nyanyi dalam sunyi seakan mengiring dalam
senandung lagu hening.
Aku
mawar merah semerbak yang layu di atas
dunia fana ini. Lantaran dikhianati oleh
kupu-kupu cantik pelipur hati yang telah mati. Ditinggal bukan untuk sehari
atau dua hari, namun untuk sepanjang helaan nafasku. Memang belum lama kukenal
dengannya, akan tetapi hati memikat tak kenal waktu yang sempit. Perjumpaan
singkat dengannya tak akan mati terkubur di bawah nisan suci. Takdir begitu
tega membiarkan seorang pujangga ditimpa bencana jiwa seorang diri.
Sehingga muncul pertanyaan ketidak percayaan terhadap
sang pencipta semesta sekaligus pencipta mala petaka.
“Mengapa
takdir duka datang ketika kehidupan sedang dikelilingi suka cita?”
“Apakah
takdir sengaja ingin melihat musnahnya jiwa suci bertajuk kasihku ini?”
“Apa mungkin ini merupakan takdir suka yang di latar belakangi oleh kejadian
duka?”
Rintihan
pertanyaan hati kecil itu menunggu pernyataan Maha Cinta sebagai jawaban dalam
sisa kehidupan nyata.
Makin
lama, hujan turun dikegelapan menjadi seperti tangisan nafsu. Apa mungkin aku
sanggup menggali tanah kuburanmu yang semakin lunak di terjang hujan. Hanya
untuk sekali lagi kupeluk jasat yang
pernah ada dikala air mata mengalir deras. Hanya untuk sekali lagi kucium bibir
cantiknya yang tak akan kudengar lagi kata-kata semangat untuk hidupku. Bukan
aku jika keinginanku tidak terpenuhi dengan tanganku sendiri.
Di dalam jiwa terus memaksa untukku
membongkar tempat peristirahatan terakhirmu. Tak setitikpun aku dapat menahan
keinginan rindu ini. Mungkin terasa menyeramkan ditengah kegelapan menggali
kuburan basah milik gadis perawan. Mungkin ini sudah menjadi keputusan jiwa
yang mendobrak segala aturan moral atau pandangan nurani. Kuputuskan segera
berlari menerjang hujan menjumpai nisan putih bertuliskan nama kasihku.
Namun,
diatas gumpalan tanah perawan yang masih ditaburi serpihan bunga tujuh rupa,
aku menjeritkan namamu lagi. Dibawah hujan yang kian menjadi-jadi aku menangis
sekencang-kencangnya. Taman kuburan yang hening tanpa suara menjadi bising
sebab suara ku memanggil namamu. Kutujukan teriakkanku ini untuk mengutuk sebab
dari kematianmu siang itu. Kuputar haluan nafsu untuk menumpahkan darah
terakhir kalinya kepada noda dunia itu. Aku bertekat keras untuk membalas
kematianmu sayang.
****
Siang ini, kulupakan rindu yang menerpa kala itu.
Kemarau datang mengejutkan hujan yang semalam turun dengan irama kasar.
Kehidupan berjalan seperti sedia kala. Matahari membakar bumi dengan senyuman
jahat. Aku berdiri di pinggir jalan yang terbakar kemarau. Ada alasan
tersendiri mengapa aku pergi ke pinggir jalan ini, bukan bersama Dinda seperti
dulu. Namun bergandemg tangan bersama
duka atas kematian Dinda.
Sekali
lagi kubuka bola mata untuk melihat bayangan cinta pada setiap bagian skenario
semesta yang begitu menyiksa pujangga muda. Merasakan suasana hati yang semakin
panas dalam satuan celsius. Kekejaman dendam mengusik lerungan prihatin hati
terhadap insan ciptaan tuhan. Bahkan malam nanti kusiapkan untuk perjumpaan
indah bersama cinta di dalam semesta ruh yang abadi.
Aku
menahan sesak di dada, berusaha
keras menahan air mata. Kualihkan pandanganku pada jalanan yang ramai dengan
kendaraan yang berderu. Seketika pula aku tertegun, karena untuk pertama kalinya
aku mengetahui takdirku yang berada di tengah jalan. Kubiarkan pikiran
bertindak semaunya tanpa pengawasan dariku. Kuterdiam hampa memejamkan mata
untuk beberapa detik. Berharap jiwaku tenang untuk berjumpa dengan Dinda.
Membalaskan kematian Dinda adalah keputusan terakhir jiwaku.
Tanpa
kusadari aku berjalan menyusuri susunan pola di tengah jalan. Meninggalkan
rangkaian kenangan bersama Dinda. Dengan menggenggam gambar wajah Dinda, aku
menyebrangi jalan. Langkah kakiku ini terhenti tepat di titik kematian Dinda.
Sekali lagi aku membayangkan wajah Dinda yang ceria. Kuberharap dapat segera
bertemu dengan kupu-kupu mawar merah semerbak yang mekar dalam kehidupan.
Tiiiiiinnn.... Tin.. Tin.. Tiiiiiiiiiinnnnn...
Suara
klakson membisingkan
telinga dan sekali lagi kuteriakkan nama kasihku,"Dindaaaaa". Bersamaan
dengannya seluruh indera
yang kumiliki mati tak berfungsi kembali. Hari ini dendam terhadap sebab
kematian Dinda sudah terpenuhi. Takdirku menjumpaiku tepat sehari setelah takdir duka Dinda.
Mungkin tuhan telah menuliskan kisah ini bersamaan dengan
lukisan nyata dalam kehidupan semesta. Cinta yang sesungguhnya
adalah cinta terhadap sang maha cinta. Besar cinta terhadap suatu yang fana
tidak layak melebihi besarnya cinta terhadap Sang Maha Cinta. Rasa cinta merupakan
bentuk syukur kita terhadap Sang
Maha Cinta. Kini aku sadar
atas apa yang kukerjakan selama ini yaitu menduakan cinta Sang Maha Cinta. Atas itu aku merasakan kehidupan akhir
menjadi mawar layu.
Penulis : Pandika Adi Putra
Editor : Wahid Fahrur Annas
Cerpen yang Bagus
ReplyDeleteTerima kasih pembaca
DeletePost a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?