Refleksi Hari Santri: Pesantren dan Media Sama-sama Perlu Berkaca

Dok. LPM SAKA

22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional sejak 2015 silam. Peringatan ini sebagai bentuk memperingati peran santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah fatwa yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan oleh K.H Hasyim Asy’ari.

Peringatan hari santri tahun ini diwarnai dengan Polemik tayangan Trans7 dan seruan #BoikotTrans7 yang memantik diskusi panjang tentang citra pesantren di mata publik. Tayangan yang mengangkat isu sistem budaya ekstrem pondok pesantren cukup menyakiti beberapa pihak yang selama ini menganggap pondok pesantren sebagai rumah, tempat mencari ilmu, dan ruang agamis yang suci. Pondok pesantren tak hanya sebuah lembaga pendidikan melainkan sebuah identitas, maka ketika pondok pesantren di “cap” negatif, yang dirasa bukan hanya kritik, tapi juga luka harga diri.

Tayangan Trans7 dianggap berat sebelah, tayangan ini lebih mengarah ke budaya bebas yang mengkritik bentuk kepatuhan dan ketundukan. Kritik yang ditayangkan oleh media seperti mengutamakan “kebebasan” tanpa batas. Hal yang perlu disoroti adalah ketika framing negatif ini mengarah pada ulama-ulama besar pondok pesantren yang selama ini dikenal berperan dalam mencetak tokoh-tokoh bangsa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa institusi yang terbukti berjasa justru disudutkan? Padahal jelas media memiliki peran dan tanggung jawab besar dalam membentuk opini publik secara sehat dan mendidik.

Tak dapat dipungkiri jika sistem budaya ekstrem dalam lembaga pondok pesantren cenderung otoriter di sebagian lingkungan pesantren. Bentuk kekerasan yang tak hanya fisik muncul dalam relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid, di mana santri sering kali berada pada posisi yang tak berdaya. Ketaatan mutlak terhadap sosok Kiai yang tak jarang dipuja berlebih hingga tak mampu dikritik dan membentuk budaya kelompok yang memiliki keyakinan berlebih dan praktik yang tidak biasa dan memperkuat sistem ini.

Praktik-praktik tersebut sering dibungkus dengan dalih “pendidikan karakter” atau konsep “pendidikan adab”, sehingga budaya ekstrem tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dan bahkan diperlukan. Akibatnya, banyak korban tidak mempunyai ruang aman untuk bersuara karena tidak tersedia perlindungan yang mencukupi di dalam sistem tersebut. Santri sepatutnya memiliki hak atas rasa aman, perlindungan, dan kebebasan untuk berbicara. Kritik terhadap sistem bukanlah bentuk kebencian melainkan upaya dalam memastikan nilai-nilai kemanusian ditegakkan di semua ruang pendidikan. Banyak santri berada dalam posisi diam karena takut, karena norma, atau tekanan sistem.

Dalam ramai polemik pemberitaan media tentang pesantren, wajar jika ada pihak yang marah – tayangan yang menyudutkan, framing yang mensyaratkan kesalahan dan narasi yang rancu – cukup jelas menyakitkan pihak terkait. Protes terhadap media tidak apa, tapi jangan jadikan hal tersebut menjadi alasan menutup mata atas kasus-kasus yang terjadi di beberapa pondok pesantren, seperti kekerasaan seksual, perundungan, ketimpangan kuasa antara Kiai dan santri, semua itu bukan sekedar isu eksternal, tapi luka internal yang harus diakui dan ditangani.

Peringatan hari santri tahun ini menjadi sebuah momentum untuk melihat kembali ke dalam dan mengubah hal yang tak seharusnya terjadi dan menjadi budaya. Perlu diingat bahwa santri pada masa kini bukan hanya pewaris sejarah tapi juga penentu masa depan pondok pesantren dan negara. Pondok pesantren perlu belajar membuka diri terhadap pengawasan, terhadap suara yang berbeda, dan terhadap kritik.

Media pun harus lebih bersikap adil dan bijak dalam mengangkat kasus penting, bukan berarti boleh menyamaratakan. Kritik harus dibarengi dengan data, bukan hanya diubah menjadi stigmatisasi.

Di tengah euforia Hari Santri, inilah momentum bagi pesantren untuk berbenah, dan bagi media untuk menegakkan amanah dalam menyampaikan kebenaran dengan adil. Hari santri bukan hanya sekedar selebrasi tradisi, namun momentum refleksi dan reformasi. Ini saatnya pesantren membuka diri terhadap kritik, media bertanggung jawab dalam narasi, dan santri berani bersuara.


Referensi:

Kompas

LampungNu.or.id


Penulis: Nafisah Az Zahra

Editor: Salsabil Alifia Pramesti


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post