LENTERA DI SISI LAIN



LENTERA DI SISI LAINA
hmad Nur Aji Wibowo
            Semua berseragam hitam dengan mata-mata sendu melintas tanah amis yang kumuh. Langit seperti akan jatuh dalam hitungan detik. Komplotan burung gagak berkoak-koak datang bertengger pada dahan kamboja seperti menunggu janji. Matanya hitam pekat seraya lehernya menoleh serempak ke tempat orang berjalan.Berjalan menuju lubang antara batu-batu bisu yang menggoreskan sebuah nama. Suara duka menyelimuti gerimis sore dari belakang punggungku.Lantas aku menoleh.Empat pemuda yang menggotong tandu. Mata mereka terjahit kawat-kawat berduri yang berseragam layaknya densus 88 dengan senapan  panjang yang berkalung di lehernya. Desah liur anjing hitam seukuran manusia mengitari pengawal itu seperti siap untuk mengoyak siapapun yang menyentuhnya. Kakiku bergerak mundur memberi mereka jalan. Tandu itu melintas tepat di depan kepalaku. Tandu itu berdarah, meneteskan darah segar dengan ada tangan-tangan yang mencoba untuk merobek kain penutup tandu itu dari dalam. Ia masih hidup, aku yakin. Aku langkahkan kaki ini mendekat dengan berjuta rasa getir. Anjing itu menatapku bagai anak ayam. Seketika itu aku diam berhenti melangkah. Tandu itu mulai diturunkan dan dibukalah kain penutup itu.

            “Hay!”teriakku. “Mereka masih bernyawa.” Semua membisu mendengar nyaringnya itu. Serentak tak ada gerakan dari mereka. Aku mendekat menuju pemuda itu. Raut wajah mereka sangat sekarat. Mulut mereka tersumpal  kaus kaki dengan mata-mata yang bertangis darah. Mereka menggunakan dasi dan almamater dari sebuah universitas, Entah universitas mana. “Hay hentikan keparat!, mereka masih hidup!”Semua membatu dan membisu kembali. Hening tanpa suara. Aku menghampirinya lantas membuang sumpalan itu.

            “Kau siapa ?”
            “A…a…,aku tolong, tolong kami. Ungkap semua kebohongan….” Run!!!” pemuda itu tak jelas bersuara, tubuhku bergetar bercucur keringat dingin dan mataku tertegun kaku. Pundakku berasa berat. Ada jemari-jemari yang menyentuhya. Aku menoleh. Tangan itu tangan pengawal yang memegangku sambil mengacungkan senapan berlaras panjang. Wajah seluruh orang berseragam itu menyeringai kaku sambil mata mereka berkedip seraya mengucap kata. “DEERR!!”Suara tembakan itu mengenai kepala pemuda itu. Aku menoleh melihat pemuda itu tertembak lalu tubuhnya terpental jatuh ke dalam lubang persegi itu. Semuanya tertawa dan…

***

            “Ed.., edi…
            “Ya…”
            “Kau mengigau lagi. Lihat kopimu sudah mendingin Ed. Apa kau baik-baik saja?” Sambil tangan menyentuh kening. “Keningmu hangat Ed dan kau berkeringat dingin. Sebaiknya kau pulang saja ed. Ini sudah larut."

            “Juli… kau masih jaga selarut ini ?” Apa kau tak ingin menutup cafe ini ?”
            “Hay Edi, wake up, aku baru saja buka café selepas sore tadi Ed. Cafe ini hanya akan buka sore hingga pagi. Apa kau lupa itu Ed ? Hahahaha”

            “Just kidding Jul, hahahaha. Gue pulang dulu Jul. Sampai jumpa dua hari lagi di kampus.” Selagi aku melangkah keluar aku meninggalkan uang di meja itu dengan menyisahkan setengah isi kopi yang sudah mendingin. Juli nampak tersenyum dengan baju pelayan café yang jelita itu.

***
            Kaca mobil ini mulai berembun, langit tak bersahabat. Aku sudah sampai pada jalan yang gelap dengan banyak lumbung-lumbung padi di kanan kiri jalan ini. Sekitar setengah jam lagi aku akan sampai di vila milikku. Ayah memang baik memberikan vila itu untukku.  Sepertinya hujan datang dan akan berlangsung lama. Angin semakin menjadi-jadi. Banyak sekali roh-roh yang lalu lalang melintas di depan mobil ini. Mereka ada yang buntung kepalanya. Ada juga yang menemaniku di bangku depan ini. Namun aku merasa ada yang mengganggu dari mimpi yang sering kali aku jumpai itu. Siapa yang mengusikku tak kunjung menampakkan wujudnya. Aku tahu dia mengikutiku selama tujuh hari ini melalui mimpi. Ini mimpi  yang ke tujuh kalinya datang. Kerap kali aku tersengal menjumpai mimpi itu. Ia seperti ingin meminta sesuatu dari bagian hidupku. “DEER!!!” suara petir itu menerka. Lampu mobil ini mati. Hanya lampu HP penerang gelapnya mobil ini. Berulang kali kunyalakan mesin ini namun tak kunjung nyala mobil ini.

            “Ed… ed, edi..” suara angin menjelma panggilan. Suara ini. Aku keluar dari mobil melihat jalanan mulai banyak lentera yang menyala sepanjang jalan. Tidak lagi, aku tak mau ke dunia ini lagi. “Sial!!!” desisku. Aku melihat mahasiswa itu, iya mahasiswa yang mulutnya tersumpal itu. Dia datang dengan menakut-nakutiku. Aku terpojok melihatnya mendekat di depan mobil silver ini. “Mau apa kau Hha?!” tanyaku sambil menggertak. Wajah itu menakutkan. Mulutnya tersumpal, matanya menangis darah, almamaternya hijau berlumur darah.

            “Edi… ed, ed” suara dari pemuda itu.
            “Enyah kau! Jangan mendekat. Aku tidak memiliki apapun untuk dibagikan kepada yang mati. Duniaku berbeda dengan duniamu” aku asal bicara seperti apa yang kulihat di film-film hantu. Sempat aku ke dunia ini namun itu sudah cukup lama. Itupun tak begitu kuingat, ibuku juga memiliki kutukan ini.  

            “Ed, jangan takut, aku tidak ingin melukaimu ed” pemuda sebaya itu tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Wajahnya  seperti tidak asing ketika aku membuka telapak tangan di wajahku. “Mau apa kau? Tidak usah menakutiku seperti itu lagi” aku masih melontarkan kata itu namun tidak menggertak.

            “Apa kau tidak ingat aku Ed? Ini aku yang dulu membantu Eli mengeluarkanmu dari dunia ini Ed. Apa kau ingat nenek yang itu?”sambil memberiku semacam halusinasi pandangan.
            “Benarkah itu kau? Aku tidak begitu ingat kejadian silam itu. Tapi aku masih ingat wajahmu sedikit. Ke-kenapa? Kenapa kau mengundangku kemari ?” Tanyaku dengan lega.

            “Maaf tentang mimpi itu. Aku hanya ingin menunjukkanmu melalui mimpi itu. Kala itu ketika Eli bertemu denganku di dunia ini, dia mencari anaknya Edi sambil menangis-nangis membawa lentera di tangannya. Aku tidak bisa diam saja jika melihat wanita menangis. Lantas aku tolong dia mencarikan anaknya. Aku menghampirinya namun ia ketakutan seperti yang baru saja terjadi padamu.  Aku dan ibumu berhasil mengalahkan  nenek peot yang mencoba merenggut kehidupanmu kala itu. Kau mulai bangun namun kondisimu lemas. Kami mencari gerbang menuju dunia nyata setelah kau sadar. Sesampai di gerbang itu ibumu menawarkan satu hal sebagai rasa terimakasihnya. Namun ternyata nenek tua itu bangkit lagi dan menyerang Eli. Aku dengan sigap langsung melempar Eli dan anaknya ke pintu gerbang itu. Eli berkata suatu hari nanti Edi akan membantumu terlepas dari dunia ini. Sungguh penantian yang lama aku mengumpulkan energi untuk mengundangmu kemari Ed. Maaf, sebenarnya mimpi itu adalah kejadian yang membuatku tak bisa lepas dari dunia ini. Aku ingin bebas dari dunia ini Ed. Cuma kamu yang bisa membantuku bebas dari dunia ini. Namaku Erick jika kau ingin tahu namaku”

            “Lalu apa permintaanmu itu?” tanyaku padanya. “Aku tidak bisa menolongmu terlalu banyak,kau tahu itu. Ibuku pernah bercerita mengenaimu Erick. Kau akan datang suatu saat nanti. Ibuku bilang aku kau akan menjadi saling membantu. Namun aku tidak begitu menghiraukan cerita itu. Lalu apa sekarang?”

            “Aku memiliki sebuah permintaan Ed”sambil memegang tanganku erat-erat dan menatapku serius. “Aku ingin menyampaikan pesan kepada istriku bahwa sebenarnya aku mati bukan karena aku teroris melainkan karena aku bersuara jujur kala aku masih menjadi mahasiswa kepada negara sebagai seorang jurnalis. Aku ingin kau menyampaikan kepada istriku jika aku mati bukan karena aku teroris melainkan karena bentuk pengecutan dari negara atas sebuah kejujuran. Bilanglah kepadanya untuk rela aku pergi Ed. Kau tahu maksudku bukan ?” sambil muka menunggu jawaban penuh harapan.

            “Dasar bajingan negara ini!!!, apa mereka harus mengorbankan nyawa demi kepentingan mereka! Bangsat! Gertakku memuncak. “Selama aku menulis berita memang selalu saja negara membungkam atas semua kejujuran, kurasa aku mengerti maksudmu Rick. “Lalu bagaimana Rick?”
            “Temuilah Lina kekasihku untuk menjelaskan kematianku. Katakan padanya untuk merelakanku pergi. Katakan juga kepadanya untuk segerah menikah, jika ia ingin membuatku bahagia” Ucap Erick dengan harapan yang yakin.

***

            Fajar telah menyingsing. Langit menyapa hangat. Jarum tanganku telah menunjuk pukul delapan. Tanganku mengepal sambil menggedor pintu rumah Lina. Aku sudah menggedor pintu itu dua kali namun tak ada jawaban. Mungkin ia sedang bekerja, ini terlalu pagi untuk aku datangi. Sudahlah nanti saja. Aku berbalik dan merogoh kunci mobilku di almamater ini.

            “Hay siapa?” Suara seorang wanita yang memanggil”. Aku berbalik dan melihat sesosok wanita dengan banyak anak kucing yang bermanja di kakinya. Rambutnya pirang, wajahnya pirus dan matanya lentik. Ia menggunakan bandana dan pakaian panjang ke bawah. “Apa kau Lina?” Aku tersenyum, bertanya dan melangkah kepadanya. “Ya, aku Lina, ada apa? Dan siapa kau? Mari masuk” Ia menawari aku masuk kerumahnya dan kami saling berjabat tangan.

            “Kenalkan namaku Edi, temannya Erick” dia tersengal mendengar nama Erick sambil berhenti membukakan pintu. Wajahnya mengendur kebawah seraya mengucapkan kata. Ia diam lantas membukakan pintu lalu menyuruhku tunggu di ruang tamu.

            “Ada keperluhan apa kamu datang kemari Mas?” Dia datang kembali bersama seorang anak kecil kira-kira umurnya delapan tahun, anak itu malu-malu dengan muka innocent mengintip-ngintip di belakang kaki Lina, rambutnya diikal dan ia menggunakan baju bergambar Teddy Bear. Kurasa itu anak Erick jika aku lihat-lihat matanya coklat sama seperti Erick.

            “Maksud aku datang kemari sebenarnya..." Aku tidak sanggup mengatakannya. Khawatir jika membuat ia menangis.
            “Apa Erick memiliki hutang kepadam? Berapa mas? Katakana saja, sudah banyak yang datang kemari untuk menagihnya.” Jawab Lina tiba-tiba.
            “Bukan itu maksud saya. Sebenarnya ada suatu pesan yang ingin suamimu sampaikan kepadamu Lina.”
            “Pesan apa? Katakana saja kepadaku sekarang? Tanya Lina dengan raut wajahnya yang mulai serius membuatku menelan ludah.
            “Erick hanya ingin kau rela atas kepergiannya. Ia mati bukan karena menjadi teroris, melainkan karena ia mengatakan suatu hal yang jujur. Ia harus jujur karena ia memegang kode etiknya sebagai seorang jurnalis, namun kejujuran itu membuat negara terpojok. Jadi dia disekap lalu di bunuh.” Aku mengatakan itu begitu singkat, padat dan khawatir. Takut ia mengingatnya, dan benar seketika itu mata Lina berkaca-kaca dan mulai meneteskan air matanya. Anak kecil yang berada di sampingnyapun ikut menangis menyaksikannya berlinang.
            “Apakah itu benar? Benarkah itu Ed? Bagaimana mungkin kau mengetahui itu. Itu sudah terjadi delapan tahun yang lalu. Kau pasti masih duduk di bangku SD. Pasti kau berbohong!” Lina menangis sambil menggertakku.
            “Memang terdengar tidak masuk akal. Tapi ia sekarang sedang duduk di sampingmu melihatmu sedih karena kau tak kunjung merelakan kepergiannya. Dia berkata kepadaku jika kau tidak percaya maka katakan saja kepadanya bahwa…, bahwa kalian bercinta pertama kali di pinggir pantai Bali di bawah rembulan malam. Erick yakin hanya kalian berdualah yang tahu akan hal itu” Bukankah anak itu adalah hasil hubungan antara kau dan Erick?” Tanyaku.
            “Kau sungguh tidak sopan!! Pergi kau !!” Lina menggertakku lantas menyuruhku keluar dari rumahnya ini. Aku pun mencoba menenangkannya namun aku takut lantas mundur menuju pintu depan.
            “Bukan begitu maksudku Lin, bukan begitu…” Dia tidak peduli lantas membanting pintu di depan mukaku. Seperti jantung ini akan copot rasanya. Aku melihat Erick berwajah murung sambil mengelus kepala anaknya yang menangis itu dari kaca jendela. Tiba-tiba Erick menatapku tersenyum lantas mendekatiku. Mataku berkunang-kunang lantas seperti sayu ingin tidur.

***

            Aku melihat langit bergaris jingga. Pesisir pantai begitu indah dan sejuk sekali udara ini. Kakiku berdiri menghadap pantai. Aku melihat sesosok Erick mendekat dari sinar cahaya senja itu. Dia sangat bahagia dan tiba-tiba ia memelukku dan berbisik. “Terimakasih Ed, aku sekarang sudah tenang” itu yang ia katakan. Berarti Lina sudah merelakan kepergian Erick. Aku merasa bahagia mendengarnya. “Kau akan pergi Rick? Kenapa tubuhmu semakin memudar, aku hanya bisa merasakan setengah dari keberadaanmu, tubuhmu juga makin tembus pandang.

            “Selamat tinggal Ed. Lina sudah mengerti sekarang” itulah kata terakhir yang aku dengar darinya. Entah mengapa pelukan itu membuatku meneteskan setetes air mata. Aku seperti mengerti apa perasaan ini. Penantian yang panjang untuknya.    

Penulis :   
 Ahmad Nur Aji Wibowo seorang mahasiswa IAIN Purwokerto jurusan KPI. Lahir di Banjarnegara, 01 Juni 1997. Bertempat tinggal di Parakancanggah, RT 01 RW 01 Banjarnegara. Sekarang menetap di pondok pesantren Mahasiswa An najah Kutasari. Ia memiliki hobi menggambar dan bermain bola basket. Karya puisinya pernah diterbitkan dalam buku PILAR PUISI 3 dan Balada Cinta. Pernah menjadi illustrator buku Revitalisasi Sastra Pesantren dan Balada Cinta. Ia aktif dalam komunitas Jurnalistik LPM SAKA sebagai penulis berita online dan aktif di radio STAR FM 107.7 sebagai penyiar radio di kampus IAIN Purwokerto

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post