Orasi Profesor Basit, Saat Pengukuhan Gelar Guru Besar


Pengukuhan Guru Besar Ilmu Dakwah di Auditorium Utama IAIN Purwokerto, Selasa (06/11)

Purwokerto, LPM SAKA – Isu radikalisme diibaratkan seperti bola api, yang bisa saja membakar diri sekalipun hidup di lingkungan perguruan tinggi. Sehingga, Prof. Dr. Abdul Basit, M.Ag. yang baru saja mendapat gelar Guru Besar Bidang Ilmu Dakwah, dalam sidang Senat Terbuka menyampaikan orasi ilmiah bertajuk, “Hermeneutika Dakwah Kampus: Radikalisme Islam, Kontestasi Ideologi, dan Konstruksinya,” pada Selasa (06/11).

“Adanya isu radikalisme dalam beragama di kalangan kampus telah meresahkan berbagai kalangan, bukan hanya civitas academica, melainkan juga, orang tua, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat secara luas,” ujar Profesor Abdul Basit yang akrab disapa Profesor Basit saat membuka orasi di Auditorium Utama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.

Profesor Basit juga memaparkan data dan fakta yang didapat dari media massa. Hasilnya cukup mengejutkan, karena Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengklaim tujuh perguruan tinggi ternama terpapar paham radikalisme. “Masuknya radikalisme agama dalam kehidupan nyata telah meruntuhkan pandangan yang berkembang selama ini bahwa kehidupan kampus adalah kehidupan yang netral,” ujarnya. 

Garis Keturunan Organisasi yang Menghidupkan Dakwah di Perguruan Tinggi
Di lingkungan Perguruan Tinggi Keislaman Negeri (PTKIN) maupuun swasta, kegiatan dakwah dihidupkan oleh organiasasi ekstra kampus yang mempunyai garis keturunan saling berkaitan. Bahkan, sekalipun mempunyai ideologi berbeda, organisasi tersebut mempunyai misi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia berdasarkan keislaman.

Profesor Basit menceritakan setelah kemerdekaan Indonesia, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta (yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia) berperan mempertahankan kemerdekaan dan melakukan kegiatan dakwah keislaman. Salah satunya dengan munculnya dua organisasi yang bergerak di bidang dakwah, yakni Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Setelah pemerintah mengambil alih Fakultas Agama di Universitas Islam Indonesia (UII) yang dikembangkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Kegiatan dakwah di kalangan perguruan tinggi semakin tinggi. Karena munculnya organisasi mahasiswa yang senada, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Di perguruan tinggi islam negeri maupun swasta, ketiga organisasi tersebut yang paling aktif bergerak. Baik dalam bidang dakwah maupun menududuki posisi strategis di organisasi intra. Bahkan, sejak berdiri sampai sekarang, ketiga organisasi tersebut masih saling “berseteru” dalam berebut kader di perguruan tinggi yang membesarkan namanya itu.

Menurut Profesor Basit, ketiga organisasi tersebut lahir dari latar belakang yang berbeda. HMI lahir dari rahim kaum terdidik pada masa penjajahan, PMII berasal dari kalangan santri yang tradisionalis, dan IMM berasal dari kelompok revivalis yang menghendaki adanya purifikasi dan pembaruan ajaran Islam. Latar belakang ketiga organisasi tersebut membentuk ideologi dan mengakibatkan kontestasi. 

Makna Radikalisme dan Empat Pola Rekrutmen Organisasi Radikal
Pada sub “Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa: Analisis Sosio Historis”, Profesor Basit menjelaskan makna kata radikalisme yang merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). “Dari arti tersebut, kata radikal/radikalisme bermakna positif. Seorang beragama secara radikal bisa dibenarkan apabila maknanya berpegang teguh pada hal yang prinsip dan mendasar,” jelasnya. 

Setelah tragedi World Trade Center (WTC) pada 9 November 2001, Profesor Basit mengungkapkan ada perubahan makna pada kata radikal/radikalisme. Dimana kata radikal yang semula bermuatan positif, kini berubah negatif dan seolah merujuk pada umat Islam yang melakukan tindakan kekerasan. 

Menurut Profesor Basit, radikalisme pun tidak tumbuh secara tiba-tiba. Tetapi, ada faktor yang melatarbelakangi. “Banyak faktor yang menyebabkannya (radikalisme Islam), di antaranya: faktor ekonomi, lemahnya pemahaman agama, kondisi sosio-psikologis pelaku, politik global, dan sebagainya,” jelasnya. 

Selain itu, Profesor Basit juga menerangkan empat temuan para ilmuwan terkait pola rekruitmen organisasi radikal. Pertama, personal dan sosio-psikologis. Kedua, jaringan personal atau organisasi. Ketiga, lingkungan sosial politik negara dan dunia. Keempat, media komunikasi. 

Saat menutup orasi, Profesor Basit mengingatkan bahwa radikalisme Islam telah menghegemoni kegiatan dakwah kampus, maka dibutuhkan adanya gerakan moral dan intelektual yang dilakukan secara konsensus sebagai counter terhadap gerakan radikalisme Islam.

“Selain itu, materi-materi dakwah hendaknya dikemas dalam balutan Islam moderat dengan mensinergikan ajaran agama Islam, sains, dan pendidikan kewargaan melalui pendekatan interdisipliner/multidisipliner/lintas disiplin,” tutup Profesor Basit.  

Reporter          : Nur Rohmah Sri Rezeki, Umi Uswatun Hasanah.
Editor              : Wilujeng Nurani

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post