Ilustrasi: Pixabay |
Sejak pandemi Covid-19 muncul di Wuhan China, virus
ini telah melumpuhkan berbagai kegiatan masyarakat mulai dari arisan setingkat
RT hingga Champions League setingkat dunia. Tidak
kurang 198 negara mengalami pandemi covid-19. Akibatnya, kestabilan negara terganggu.
Di Indonesia Covid-19
pertama kali dialami oleh warga Depok. Seminggu
kemudian kasus positif Covid-19 meningkat
tajam. Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara berpotensi memiliki
penyebaran yang luas. Pemerintah yang awalnya menganggap remeh kasus ini
akhirnya pun ketar-ketir. Semua aktifitas lumpuh. Dari
sektor pembangunan hingga ekonomi mengalami penurunan yang drastis.
Dunia pendidikan pun tak luput terkena imbasnya. Mas Menteri
dan pemerintah berseru semua aktifitas pembelajaran musti dirumahkan. Baik tenaga pengajar maupun
pelajarnya. Hampir semua kegiatan pembelajaran konvensional, dialihkan menjadi online. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hinga Perguruan Tinggi mengalihkan sistem
pembelajarannya menjadi online.
Beberapa wali murid SD yang kurang paham mengenai sistem
pembelajaran online pun kesulitan untuk mengajari anaknya. Fasilitas
pembelajaraan yang kurang memadai mengakibatkan terhambatnya kegiatan
pembelajaran online. Jangankan laptop dan gawai, buku paket pun mereka masih berhutang. Sebagian
besar masyarakat di desa yang mengalami keterbatasan ekonomi juga terkena imbas di dunia pendidikan ini.
Bahkan, ada keluarga salah satu keluarga yang anaknya masih kelas 4 SD, memutuskan untuk berhutang lalu membeli smartphone. Kurangnya sosialisasi membuat masyarakat panik, takut anaknya
tidak bisa naik kelas jika tidak mengikuti pembelajaran. Lantaran porsi tugasnya sangat banyak dari pada materi yang diberikan jika
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Tuntutan Mahasiswa di Masa Pandemi
Perguruan Tinggi tidak kalah menyedihkan. Beberapa
kampus mengeluarkan jurus kebijakan perkuliahan online. Hampir sama yang
terjadi di tingkat SD, kebanyakan yang dikeluhkan mahasiswa adalah tugas yang begitu banyak dan harus selesai pada waktu itu juga. Berbeda dengan perkuliahan tatap muka, tugas tidak membabi buta seperti ini.
Selain itu, penilaian dosen pun bervaratif,
ada yang sekadar menilai dari absen, ada juga dari tugas
yang diberikan. Dengan beralihnya sistem perkuliahan ini,
beban pengeluaran kuota mahasiswa pun meningkat. Apalagi di tengah pandemi,
banyak pengeluaran namun minim pemasukan. Lantaran orang tua mahasiswa dengan background penghasilan yang
beragam juga terkena dampak. Mulai dari PNS yang katanya akan dipotong gajinya,
hingga pedagang dan petani yang penghasilannya jadi tak menentu.
Mendengar banyaknya keluhan para mahasiswa, Lembaga Kemahasiswaan
pun tidak tinggal diam. Mereka mulai membuka serap aspirasi terkait sistem
perkulihan online. Setelah form online disebar, respon mahasiswa dijadikan
sebuah masukan kepada pimpinan kampus. Kebanyakan meminta subsidi kuota
internet atau free acces internet untuk pengganti penggunaan fasilitas kampus
yang tidak mereka dapatkan selama perkuliahan online.
Sementara itu, ada juga yang menuntut pengembalian UKT semester ini dan pengurangan
UKT semester depan. Semua ini imbas dari adanya pandemi Covid-19 yang membebani
ekonomi mahasiswa dan keluarganya serta ketidaksiapan para stakeholder untuk
menanganinya.
Dari hasil serap aspirasi kampus PTKIN, menggerakkan DEMA PTKIN se-Indonesia membuat surat terbuka
kepada Menteri Agama RI, Direktur Jendral Pendidikan Islam dan Forum Rektor
PTKIN se-Indonesia. Di antaranya untuk membuat
panduan resmi sistem perkuliahan online dan pemotongan
UKT min 50% mengingat tidak digunakannya fasilitas kampus selama 3 bulan.
Suara yang besar dari para mahasiswa menggerakkan Forum Rektor PTKIN membuat
rapat terbatas online dan menghasilkan pengeluaran
kebijakan pemotongan UKT sebesar min 10%
di setiap PTKIN. Namun, belum terdengar oleh seluruh mahasiswa kabar “baik” tersebut. Kementerian Agama melalui Kamaruddin Amin
selaku Plt Diirjen Pendidikan Islam Kemenag malah membatatalkan rencana pemotongan UKT pada 22 April 2020.
Alasannya adalah pemotongan APBN untuk Kemenag sebesar 2,2 Trilliun
rupiah. Mahasiswa pun geram mendengarnya. Mereka merasa dikecewakan oleh Kemenag dan
menganggap ketidakkonsistenan terhadap kebijakan yang telah dibuat.
Alhasil,
mahasiswa kembali dibebani biaya UKT di
tengah pandemi ini. Banyak mahasiswa menyuarakan penolakan keputusan
baru tersebut. Melihat kondisi ini, DEMA PTKIN kembali menampung aspirasi mahasiswa dan disampikan
lewat Surat Tuntutan Nomor: 03/DEMA-PTKIN/IV/2020 yang ditujukan
kepada Kemenag, Dirjenpendis, dan Forum
Rektor PTKIN.
Tuntutan mereka di antaranya agar para
stakeholder bisa merespon aspirasi mahasiswa tentang pemotongan UKT, menuntut supaya
mahasiswa tidak hanya dijadikan objek Pendapatan Negara Bukan Pajak dan membuat
dialog terbuka dengan DEMA PTKIN untuk membahas problematika sistim perkuliahan
online.
Bernada sama, SEMA PTKIN Nasional juga merespon hal tersebut dengan mengeluarkan
Pernyataan Sikap tentang Pembatalan Kebijakan Pengurangan UKT Semester Ganjil
bagi Mahasiswa PTKIN. Mereka mengajak semua mahasiswa untuk ikut memperjuangkan
kebijakan pengurangan UKT dan mendesak kepada Kemenag, Dirjenpeendis serta
Forum Rektor PTKIN untuk terlibat. Lalu membuat aksi menyebarkan isu ini melalui media sosial agar tuntutan dikabulkan.
*) Amri Syarof Lazuardi, Mahasiswa PMI
2018. Hobi membaca, memasak, dan traveling. (Kontributor)
Editor : Umi Uswatun Hasanah
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?