Ketika Warung Makan Mba Neni dan Pagongan Ditutup

Makan di Warung Mba Neni/ Dok.Pri

Oleh Yudha Pratama*

Beberapa hari lalu, gerai McDonald’s Sarinah ditutup. Sebagai gerai pertama McDonald’s di Indonesia, penutupan tersebut mendapatkan reaksi beragam dari masyarakat. Salah satunya membeludaknya pengunjung di area gerai McDonald’s Sarinah. Sebab, mereka menganggap McDonald’s Sarinah telah banyak mengukir kenangan indah. Maklum saja, McDonald’s Sarinah sudah 30 tahun melayani masyarakat Jakarta.

Alhasil, masyarakat Jakarta berbondong-bondong mengabadikan momen terakhir menjelang ditutupnya gerai tersebut. Bahkan, kebijakan PSBB nampak hanya seperti tumpukan aturan tanpa makna. Berjejal masyarakat untuk memotret gedung McDonald’s Sarinah, mulai dari tampak depan, samping kanan dan samping kiri. Semuanya penuh sesak. Mereka seolah tidak rela pintu menuju kenangan dan cerita masa lalunya akan ditutup selamanya.

Aish, corona tidak kami takuti. Kami lebih takut tidak bisa lagi menengok kenangan yang ada di sana,” mungkin begitulah yang ada di pikiran mereka.

Terlepas dari reaksi yang berbagai macam itu. Saya jadi teringat dua warung makan di sekitar IAIN Purwokerto yang seringkali ramai oleh mahasiswa. Di antaranya adalah Mba Neni dan Pagongan. Hayo, siapa yang tidak tahu dua warung makan tersebut?

Warung makan yang letaknya saling berdekatan ini memang legenda. Ceritanya seperti cerita pewayangan yang sukar ditafsirkan tapi ia mengundang rasa penasaran. Lha, bagaimana ngga penasaran? Wong di satu jalur jalan, ada dua warung makan. Yakni warung makan Mba Neni dan Pagongan. Bahkan, masing-masing cabangnya didirikan pada waktu yang hampir bersamaan.

Ditinjau dari disiplin Ilmu Marketing, ini mirip sekali dengan apa yang dilakukan oleh Indoma*t dan Alfama*t. Warunge jejeran tapi lorone ya larise pol!

Dua warung makan ini memang legenda. Ibarat referensi untuk menulis skripsi, Mba Neni dan Pagongan merupakan referensi utama yang harus ada di setiap judul skripsi yang ditulis. Dari mahasiswa baru hingga mahasiswa semester akhir IAIN Purwokerto, hampir 99% pernah makan di sana. Atau setidaknya tahu keberadaannya.

Mba Neni dan Pagongan adalah tempat bersandar paling nyaman bagi anak kos dan anak pondok. Pasalnya, harga yang murah menjadi dambaan yang hangat bagi kami. Lha, bayangkan saja, dengan tujuh ribu rupiah mahasiswa bisa membawa pulang nasi rames, sayur dan ati ampela, kok!

Ada banyak sekali hal yang bisa dibahas dari kedua warung makan tersebut. Tapi, pernahkan terpikir apa yang terjadi jika kedua warung makan tersebut “tutup gerai” seperti McDonald’s Sarinah?

Kemungkinan, jika Mba Neni dan Pagongan tutup gerai akan menjadi berita yang viral sak viral-virale. Alhasil, akan banyak reaksi sedih seperti yang ditunjukan masyarakat Jakarta saat McDonald’s Sarinah ditutup. Sedangkan yang paling patah hati adalah mereka – mahasiswa yang pernah mengajak kekasihnya makan berdua di Mba Neni atau Pagongan.

Jelas, ini menjadi pukulan telak bagi mereka. Kendati dinner di Mba Neni atau Pagongan hanya ditemani dengan menu yang sederhana. Dinner tetaplah dinner. Makan malam dengan kekasih ya tetap saja makan malam dengan kekasih. Jomlo dan singlelillah tidak tahu rasanya!

Jika Mba Neni dan Pagongan ditutup, akan timbul beragam pertanyaan sekaligus pernyataan. Di benak beberapa lelaki barangkali terbesit, Aduh, oranana maning tempat ngajak sarapan karo dinner doi sing murah tur nylekamin. Apamaning nggolet sing segane njiot dewek!”. Sedangkan beberapa gadis akan membatin, Duh, Mas-mas yang biasanya ngelayanin pelanggan di Pagongan pada kerja dimana ya? Duh jadi kangen.

Itu hanyalah sedikit contoh ungkapan patah hati karen kehilangan Mba Neni dan Pagongan, dari mereka yang ikatan cintanya pernah mampir di Mba Neni dan Pagongan. Selain itu, beritanya pun akan menjadi informasi yang hangat. Rektor yang mendengar kabar duka tersebut pasti akan membatin, Duh, kasian sekali mahasiswa-mahasiswaku, kehilangan tempat makan yang murah. Di mana nanti mereka harus makan?”

Tidak ketinggalan, Dewan Ekeskutif Mahasiswa (Dema) juga ikut menanggapi. Barangkali, jika saja saya menjadi Presiden Mahasiswa, saya akan alokasikan anggaran dari kantong pribadi untuk membuat karangan bunga yang cantik. Lalu menempelkan pesan yang mewakili seluruh mahasiswa.

Kira-kira pesannya begini:

“Sendok dan garpumu yang kokoh dan tidak mudah bengkok menjadi saksi perjuangan mahasiswa IAIN Purwokerto selama bertahun-tahun. Menu masakanmu adalah menu yang dimakan oleh mahasiswa baru saat mereka melaksanakan kegiatan masa orientasi. Betapa banyak kenangan terukir. Betapa banyak cinta tumbuh dan bersemi di bawah atap Mba Neni dan Pagongan. Terima kasih atas jasamu.

Begitulah kecemasan mahasiswa ketika warung makan Mba Neni  dan Pagongan ditutup. Saya sangat berharap hal itu tidak pernah terjadi. Dan semoga warung makan Mba Neni dan Pagongan senantiasa diberi kelancaran dalam usahanya. Sehingga, mahasiwa yang pas-pasan seperti saya tidak akan takut kelaparan saat belajar di kelas.

*) Yudha Pratama, Mahasiswa FEBI 2016.

Editor : Umi Uswatun Hasanah



Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post