Mengubah Peradaban; Filsafat Tentang Akal dan Rasa Ingin Tahu


 Ilustrasi : Pixabay


Oleh Romi Zarida*


Akan sulit dibayangkan jika dahulu kala manusia tidak menggunakan potensi yang ada dalam dirinya. Sekaligus menjadi salah satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Potensi ini adalah akal yang sudah diberikan kepada manusia sejak dia lahir di dunia. Bahkan secara teologis, bayangkan jika saja Nabi Adam tidak diberi berbagai macam pengetahuan dalam akalnya oleh Allah (Q.S. Al-Baqarah : 33), maka sepertinya manusia bukan apa-apa tanpa menggunakan potensi yang dimiliki tersebut. Sudah menjadi tabiat manusia yang mempunyai akal untuk selalu membuat rasa ingin tahunya terus bertambah. Dari potensi inilah seluruh peradaban manusia yang berbeda-beda terbentuk. Mari kita lihat bersama bagaimana akal dan rasa ingin tahu mampu mengubah suatu peradaban.


Jika di lihat pada zaman dahulu maka peradaban pertama yang muncul adalah peradaban Mesir. Bagaimana bangunan peninggalan mereka yang menjadi saksi akan kemajuan kala itu. Hal ini juga yang menjadikan peradaban mesir kuno banyak dikunjung oleh orang-orang dari berbagai negara.


Ada salah seorang dari Yunani yang datang untuk belajar ke Mesir. Ia kembali ke daerahnya dengan pengetahuan baru yang kemudian membuat perubahan pada pemikiran Yunani. Orang itu adalah Thales (624-546 SM). Thales merupakan seseorang yang lahir di Miletus daerah Yunani.  Dia mengasah potensi akalnya dengan belajar berbagai jenis pengetahuan, salah satunya ilmu hitung. Bahkan dia juga sudah mampu meramalkan terjadinya gerhana. Hal besar lain dari ilmu hitungnya adalah ketika dia mulai bertanya soal sesuatu yang  besar yaitu, "bagaimana alam semesta ini tercipta?". Pertanyaan tersebut ia jawab sendiri atas hasil pengalaman empiriknya di Mesir. Thales menjawab air sebagai bahan dasar alam semesta.


Teori ini berdasarkan pengalamannya melihat sebuah sungai yang terkena banjir dan kemudian menghancuran segalanya. Namun, di sisi lain hal tersebut juga menjadikan makhuk hidup baru dapat tumbuh. Di tempat lain Thales melihat terdapat daerah yang tidak dialiri air. Tempat itu gersang seolah-olah tidak ada kehidupan. Dengan berbagai pengetahuan yang ditemuinya justru mulai muncul orang-orang yang mengubah teorinya ketika ia kembali ke daerah asalnya. Akan tetapi justru hal ini yang membuat pengetahuan lain tumbuh. Murid-muridnya banyak yang mengkritisi apa yang telah disampaikan oleh Thales. Dari sinilah awal mula berkembangnya berbagai teori atau gagasan terkait proses penciptaan alam semesta.


Thales dianggap tergesa-gesa dalam menyimpulkan teorinya tentang penciptaan alam ini. Bagaimana mungkin jika dunia ini tercipta dari air, dan bagaimana dia menjelaskan api itu berasal dari mana. Hal ini dilihat oleh muridnya yaitu Anaximander (610-546 SM) yang mempunyai gagasan lain. Dimana alam semesta ini jika memang tercipta akan sesuatu maka pasti ada yang menjadi dasarnya dan itu pasti tak terbatas atau tak terhingga. Dia menamakannya dengan apeiron. Berbagai argumen telah dijelaskan tapi muncul lagi yang membantah teori tersebut yakni Anaxagoras.


Anaximenes (660-528 SM) mengatakan bahwa bahan dasar alam semesta ini pasti ada. Dia menyimpulkan bahwa bahan dasar tersebut dari udara. Berangkat dari teorinya Thales tentang air, Anaximenes berpendapat bahwa adanya air adalah karena udara, soal api juga menurut Anaxagoras merupakan udara yang dipanaskan. Dia menambahkan bahwa dunia ini berbentuk silinder. Ini adalah hal yang sangat luat biasa dalam pengetahuan astronomi. Diantara silih bergantinya argumen dan banyaknya perdebatan mengenai penciptaan alam semesta yang sampai saat ini pun masih terus di kembangkan.


Di era saat ini, mungkin hal-hal di atas adalah sesuatu yang aneh untuk dibahas atau dibicarakan. Karena di zaman sekarang sudah mengakar tentang pengajaran ilmu pengetahuan atau agama yang juga membahas hal tersebut. Tetapi pada zaman Thales, Anaximander maupun Anaximenes ini merupakan hal baru yang belum pernah terfikirkan sebelumnya oleh orang lain pada masanya. Lalu siapakah yang paling benar diantara mereka?.


Pythagoras (570-495 SM) memandang orang – orang di atas adalah pemikir yang berusaha mencari kebenaran yang sesungguhnya. Disinilah istilah philosophia mulai muncul sebagai para pencari kebijaksanaan. Namun rupanya Pythagoras adalah seorang yang sangat mistis dan kebijaksanaan yang dia maksud adalah sesuatu yang berbau mistis. Hal tersebut selaras dengan ketidak mauannya untuk disebut sebagai seorang filsuf.


Proses pencarian kebijaksanaan inilah yang kemudian juga menjadi cikal bakal munculnya berbagai ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Bahkan pemikir islam pun banyak yang mendalaminya dan disebut sebagai filusuf muslim yang mana selaras dengan ajaran Islam.


Jika di zaman sekarang potensi akal tersebut terus digali lagi lebih dalam maka akan terjadi juga perubahan yang signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Karena dalam filsafat akan banyak ditemui cara berfikir yang mendalam, radikal, universal, konsisten dan bertanggung jawab. Obyek kajiannya meliputi fisik maupun metafisik, materi maupun immateri, fenomena maupun nomena. Manusia itu sendiri banyak menjadi kajian filsafat terutama setelah zaman Sokrates.


Etika manusia pun menjadi salah satu pembahasan. Ada salah satu tokoh pemikir yang mungkin secara etika bisa dipakai sampai zaman sekarang akan tetapi hanya ditempatkan pada tempatnya. Jika di zaman sekarang banyak orang berargumen dengan sentimen apalagi di muka publik maka tokoh ini mengajarkan kepada kita untuk saling menerima pendapat orang lain. Ialah Protagoras (490 - 420 SM), salah satu guru besar dari Kaum Sofis. Protagoras mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, aku benar dengan pertanyanku dan kau benar dengan pernyataanmu, tidak ada yang perlu diributkan.


Ilmu logika juga mulai berkembang terutama di zaman Socrates (469 - 399 SM) melalui metode dialektika yang kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan silogismenya. Setelah itu silogisme dipakai untuk perkembangan dalam dunia sains oleh Roger Bacon (1214-1292 M) dan William dari Ockham (1258-13674 M)


Lebih banyak lagi selain hal-hal besar di atas tentang peran filsafat sebagai perubahan. Perbuatan ataupun peradaban manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri dengan memakai potensi yang sudah melekat pada dirinya yaitu akal. Satu hal terakhir, kita tidak akan jatuh ke sungai dua kali dengan air yang sama, begitu kira-kira kata Parmenides (540 – 470 SM). Segala sesuatu berubah, maka beradaptasilah, tingkatkan kualitas dzatmu sendiri.




*) Romi Zarida, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam 2017 (Kontributor)


Editor : Fatih Amrulloh

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post