Kemenangan

Ilustrasi : Pexels


Cerpen - Hiruk pikuk berkecamuk menjelang senja. Menikmati udara sore nan menggoda yang katanya menjadi candu sejuta manusia. Berkelana menunggu malam melihat gemerlap mentari mulai tenggelam terselimuti gelap. Semua bergerak mengikuti nurani. Roda hitam mampu menopang bagian yang lain. Begulir selaras di antara keduanya. Terbentur ruas jalan yang mulai mendingin. Menghantam kerikil aspal yang mulai rompal.


Jedukkk. Suara roda beradu dengan markah kejut tak sengaja kutabrak begitu saja. Peraduan ini sungguh benar membuatku terkejut dari lamunan sepanjang jalan. Tidak terhitung di gang-gang kecil memang biasanya banyak markah kejut malang menghadang.


Tak terasa, aku tiba di tepi sungai yang berhadapan dengan jalan besar.  Kutatap barisan bunga matahari mengikuti jalanan yang menguning oleh cahaya baskara. Setiap sudut kota kecil ini berhasil kulalui. Tempat ibadah, sekolah, hingga pemakan kulewati.


Usai menerobos jalan sempit nan rumit, tibalah aku di pelataran yang sudah tak lagi asing. Turun dari kendaraan dan mengangkat semua bekal muatan yang membersamai sepanjang jalan. Mulai menjejakkan kaki pada pola lantai yang rindu dengan telapak kaki dinginku. Satu demi satu anak tangga kutiti dengan teliti. Agar singgah ini di atas dipan tidak benar-benar menjadikan tubuh kaku karena lama tak memelukku.


Kuletakkan keinginan berbaring dan memilih membersihkan tubuh yang terbalut oleh debu. Menyambar handuk yang siap melipat tubuh. Kemudian kakiku mengajak pada teras lantai atas. Sembari menikmati sisa senja di ufuk barat. Sinar keemasannya menyapa, seolah mengucapkan ‘sampai jumpa sayang’. Dengan malu-malu ia meninggalkanku dari kejauhan. Mempersembahkan jingga terbaik di atas kumpulan mega yang merahnya sempat merona. Mengingatkan bahwa sesaat lagi diri ini perlu berjumpa dengan Tuhan; pemilik aku dan kamu.


Baru kemarin, senja pertama di bulan suci tak terasa dapat ku lewati meski seorang diri. Memang, bulan pandemi ini membawaku berkelana dengan lebih dewasa. Biasanya berkumpul dengan keluarga, kini  menjauh dari pangkuan mereka.


Kusandarkan tubuh di kursi coklat tua yang setia menopang setiap tulang dan darah. Teringat kata wanita tua sebelum bergegas ke perantauan, “Nak, demi pendidikan keluarlah dari rumah. Perempuan juga perlu berdaya.”


Lalu, kusaksikan sidang isbat yang menentukan pembulanan baru di rumah. Bersama riuh wanita itu meracik hidangan untuk menyambut bulan perpisahan. Wangi khas bumbu dapur akan memenuhi ruangan. Namun kini, aku hanya duduk menatap langit yang mulai memudarkan mega. Tatapan nanar  pada bintang yang terus berkedip, terpatri diantara ribuan koleksi jagat raya.


Kumandang adzan menggema di langit, seolah memanggil abdillah dari seluruh penjuru bumi. Membuyarkan lamunan, menjauhkanku dari kursi coklat tua untuk berpindah langkah menuju masjid. Kulepas alas kaki sebelum menaiki ubin masjid yang sejuk mendinginkan. Segera kutempatkan diri pada shaf shalat dekat dinding yang masih sepi. Menghamparkan sajadah jingga berlukiskan Ka’bah.  


Di tengah diam zikirku, tiba-tiba satu tangan menepuk pundakku pelan. Seorang wanita paruh baya melihat tempatku duduk dan tersenyum kecil.


“Nak, bolehkah ibu menempati shaf yang sudah kamu tempati?” tanya wanita itu.


“Aku perlu bersandar pada dinding agar bisa mendekatkan diri kepada Allah,” tambahnya.


Aku mengangguk dan mempersilahkannya menempati tempat dudukku. Dalam benak aku  mengagumi semangat wanita itu. Mendadak ingat kepada ibu. Walaupun tubuh yang mulai rapuh membatasi ibadahnya, namun jiwa dan hati tidak akan pernah mememiliki batas dalam bermunajat dan beribadah kepada Allah SWT.


“Allaahu akbar. Allaahu akbar. Allaahu akbar. Laa illaa haillallahuwaallaahuakbar. Allaahu akbar walillaahil hamd.”


Takbir menggema. Saling bersahut antar masjid dari berbagai sudut kota. Tanda besok tiba hari raya. Hari yang di tunggu umat muslim sedunia. Kini, kuniatkan membuka lembaran dan semangat baru dengan menanam butir-butir kebajikan. Kusiram amarah dengan kata memaaf. Melebur dalam keikhlasan nurani untuk kembali kepada fitri. Syukur kujunjung kepada Illahi atas hari kemenangan  ini. Semoga berjumpa Ramadhan berikutnya dengan takwa yang lebih baik lagi.



Penulis    : Irna Maifatur Rohmah

Editor      : Ulfatul Khoolidah

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post