Purwokerto, LPM Saka - “The least competent people are the most confident in their abilities” atau dalam bahasa Indonesia "Orang yang paling tidak kompeten adalah yang paling percaya diri dengan kemampuan mereka," Ucap Content Creator dan Pengusaha sukses, Fellexandro Ruby.
Pernah nggak sih, kita menemukan orang-orang yang kurang bahkan tidak berkompeten dalam bidangnya? Akan tetapi, malah terlampau lantang dalam menggaungkan diri sendiri, bahwa merekalah yang paling berkompeten dalam bidang tersebut.
Atau memang hal tersebut merupakan sebuah fenomena yang sudah biasa kamu temui? bahkan jangan-jangan, kamu termasuk dari sekumpulan orang di atas?
Mengenal Potensi Diri
Psikolog sekaligus peneliti New York Times, Dr. Tasha Eurich menemukan sekitar 85% responden dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa mereka sadar akan kemampuan yang dimiliki. Namun ketika ditelusuri lebih lanjut, hanya terdapat 15% responden yang tervalidasi sadar akan kompetensi setiap individunya.
Hal ini membuktikan bahwa masih melimpahnya orang-orang tanpa sepengetahuannya sendiri bahkan belum mengetahui secara pasti terhadap kompetensi mereka masing-masing.
Sebelum menentukan cita-cita yang hendak dicapai dan berupaya untuk mengembangkan hal tersebut, mengetahui potensi yang dimiliki merupakan hal pertama yang harus ditempuh. Kemudian, potensi tersebut diimplementasikan pada suatu bidang dan mengantarkan kita menjadi orang yang berkompeten dalam bidang tersebut.
Guna menghindari kesesatan deklarasi sebagaimana kasus yang telah disebutkan di atas, hal tersebut dapat ditanggulangi melalui sebuah upaya verifikasi. Salah satu upaya verifikasi paling efektif ialah dengan cara menanyakannya kepada teman, kerabat, atau bahkan keluarga mengenai persepsi yg mereka ketahui terhadap diri kita sendiri.
Dalam penelitiannya, Miyamoto dan Dombusch (1956) memberikan pernyataan bahwa orang-orang cenderung menilai baik dirinya ketika orang lain menilainya baik. Artinya, penilaian orang lain memiliki pengaruh yang besar terhadap diri kita sendiri.
Circle of Truth dalam Pengembangan Potensi Diri
Di sinilah peran daripada circle of truth dibutuhkan. Adapun secara harfiah, circle of truth memiliki arti yaitu “lingkaran kebenaran”, atau lingkungan berupa teman, kerabat, dan orang-orang yang mampu menyatakan kebenaran tentang diri kita.
Sayangnya, tidak sembarang orang atau lingkungan dapat kita maknai sebagai “circle of truth”. Oleh karenanya, kita perlu mengidentifikasi lingkungan, khususnya orang-orang yang berada di sekitar kita. Adapun identifikasi tersebut antara lain:
1. Uncritical-Unloving
Circle ini biasanya hanya sebatas lingkungan berupa orang-orang yang tidak kita kenal, seperti netizen misalnya. Mereka adalah sekumpulan orang yang tidak mampu mengkritik tanpa untuk mengenal dan mencintai diri kita.
2. Uncritical-Loving
Circle ini biasanya hanya berlaku kepada mereka yang menerima diri kita apa adanya. Akan tetapi kurang bahkan tidak pandai dalam mengkritik kita, biasanya seperti orang tua kita masing-masing.
3. Critical-Unloving.
Jika kamu adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi, tetapi justru kamu mendapatkan dospem yang hanya datang untuk mengkritik saja. Maka kurang lebih itulah yang dinamakan critical-unloving.
4. Critical-Loving
Adapun circle yang terakhir ini merupakan circle yang mampu dimaknai sebagai ”circle of truth”. Di samping mereka memberikan kritikan terhadap diri kita, mereka juga merupakan orang-orang yang mencintai serta mengenal kita lebih dalam.
Post a Comment
Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?