Dompet Tipis, Buku Rilis

Ilustrasi oleh DCS LPM Saka 

Purwokerto, LPM Saka - “Siapa yang tidak bekerja, maka ia tidak akan makan”. Sebuah ungkapan yang dilontarkan oleh Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka rupanya memang relatable dengan kehidupan dari era ke era. Dalam dinamika kampus, permasalahan pendanaan menjadi keniscayaan bagi lembaga kemahasiswaan. Seyogyanya, permasalahan ini justru menjadi kenikmatan tersendiri dalam pembentukan pribadi “aktivis kampus” mengingat keberadaan lembaga kemahasiswaan adalah untuk mengembangkan beragam skill mahasiswa termasuk kemampuan “mempertahankan hidup” organisasi. Terlebih, slogan mahasiswa sebagai agent of change, yang dipastikan sebelum memberikan perubahan besar untuk lingkungan perlu menciptakan lingkungan yang bersih dan kreatif terlebih dahulu dalam internal organisasi.

Mengapa buku ini lahir?

Berdasarkan statement dari Firdaus Khusen Alchays, hadirnya buku tersebut dilandasi kepentingan membentuk intelektualitas pada mahasiswa baru. Firdaus menambahkan mayoritas mahasiswa lebih menyukai konten-konten berbasis hiburan. Padahal dengan adanya buku tersebut tidak memberikan dampak secara signifikan dan kurang mendapat atensi dari mahasiswa baru. Terlebih, isi konten yang disuguhkan lebih dominan mengupas pembahasan yang sudah diberikan saat PBAK dan konten yang tidak menggugah intelektualitas mahasiswa, serta bertolak belakang dengan dalih penerbitan buku tersebut. 9 dari 70 halaman dalam buku tersebut yang relevan dengan misi pengusungan buku ini, pun hal tersebut telah disinggung selama pelaksanaan PBAK. Sisa halaman dari buku diisi dengan hal-hal yang telah disediakan oleh internet dan lainnya dipenuhi rentetan informasi pejabat kampus. Sebagai Generasi Z, tentunya hal demikian bukanlah sesuatu yang sukar untuk digali dengan masifnya perkembangan teknologi. Jadi sebenarnya untuk apa buku ini?

Setiap individu memiliki cara tersendiri dalam mencari “penghidupan” demi mempertahankan eksistensinya. Tek terkecuali bagi organisasi mahasiswa agar dapat bernafas dengan lega tanpa kegusaran yang menghantui. Berawal dari nominal 800 ribu yang tersisa di kantong Panitia PBAK memantik naluri kewirausahaan. Kemudian, mereka merapatkan gagasan “visioner” dan alhamdulillah transaksi buku yang bertajuk “Genzu 2023” mencapai mufakat. Jalannya transaksi semakin mulus berkat afirmasi sejumlah dosen. Firdaus menyampaikan dalam sebuah pernyataan, “pasti kan mendukung mahasiswa baru membeli buku, bukan Cuma dari kami, dari dosen-dosen semua pun, ya nggak semua dosen si... nanti aku salah lagi.”

Apa kata Mahasiswa baru?

Sejumlah mahasiswa masih mempertanyakan peruntukan sebenarnya dari buku ini, dan apa esensinya? Pertanyaan mahasiswa baru ini, menunjukan rendahnya kualitas konten buku yang dibandrol dengan harga Rp. 15.000. Jika sedari awal tujuan dari transaksi buku ini adalah untuk meningkatkan intelektualitas mahasiswa baru, seharusnya para intelektualis kampus dapat menyusun konten yang sesuai dengan harapan awal, bukan sebuah konten klise. Hari kedua, waktu pembagian turut memperjelas kebingungan atas misi intelektualitas yang diusung. Bagi mereka, apalah arti hadirnya buku tersebut jika mereka tetap diinstruksikan untuk mencatat materi yang disampaikan. Meskipun demikian, mereka merasakan sedikit manfaat dari buku tersebut. Memperoleh pengetahuan seputar UIN, katanya.

Terlepas dari problematika di atas, tingkat literasi di Indonesia belum sampai taraf yang stabil. Sudah sepatutnya Mahasiswa sebagai pelopor dan penerus generasi bangsa dalam meningkatkan minat baca guna keberimbangan dalam kehidupan. Adapun kebiasaan dapat tumbuh dari beberapa tekanan yang didapat oleh individu, termasuk dalam bidang literasi. Buku bertajuk “Genzu 2023” tak sepenuhnya gagal dalam mencapai visi-misi yang telah diusung sebelumnya. Nalar kritis dan berhenti bersikap apatis telah tumbuh pada insan muda Generasi Saizu setelah memperoleh serta menyadari buruknya kualitas konten yang disajikan. Reformasi perlu diterapkan dalam upaya pemerolehan dana guna keberlangsungan acara, bukan melakukan eksploitasi atas lugunya Maba.




Reporter: Genta Gustian

Penulis: Ade Arifin dan Jasmine Azzahra






Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post