Pemilwa: Pemilihan Umum (Sebagian) Mahasiswa

Dok: Departemen Media LPM Saka


Setiap pergantian tahun, adalah sirine untuk rotasi kepemimpinan mahasiswa. Begitulah kemudian Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) dikenal. Sebagai mukadimah, apa itu Pemilwa perlu dijawab. Dalam butir kesepakatan yang lalu disebut Undang-Undang SEMA, Pemilwa didefinisikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan mahasiswa UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto yang diselenggarakan offline melalui pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 


Dengan tagline “Kampus adalah miniatur negara” yang umumnya diusung, harusnya mejadi salah satu kiblat bagi praktik demokrasi ini. Namun, begitulah, bukan berarti sama persis, tidaklah lebih baik pun tidak juga lebih buruk. Namun yang pasti, sebuah sistem adalah hasil dari ekosistem yang ada. Baik buruk wajah Pemilwa, maka seperti itulah paling tidak atmosfir politik di Kampus Hijau.



DPT (Drama Pemilwa Tahunan)

Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai hari ini masih menempati puncak klasemen tahunan isu hangat Pemilwa. Mulai dari meja organisasi, warung kopi, hingga akun-akun oposisi jadi lahan diskusi. Berbagai strategi meluncur guna memanjangkan list DPT yang dikantongi. Sistem yang menghendaki hanya 10% pemilih untuk LK rasanya makin mempermudah proses negosiasi. Namun, berdasar pernyataan Muhammad Abimanyu selaku Ketua PPM, tahun ini jumlah suara setiap kelas mengalami kenaikan menjadi lima orang pemilih. Hanya saja beberapa kasus jumlah tersebut masih belum representatif. Sebab memang matinya demokrasi di kelas dalam menentukan suara kelas, bukan sekadar suara pribadi individu yang menjual nama kelas. Contoh, salah satu kelas di FTIK, tidak ada konfirmasi dari kosma mengenai surat mandat yang diperoleh kepada anggotanya. Diketahui kosma tergabung dalam salah satu peserta kontestasi Pemilwa. Praktik demikian tidak sekali dua kali, menunjukan jumlah suara 10% rentan intervensi dan tidak representatif.


Adalah wajar jika para kontestan berlaku demikian, hanya jika keluar dari regulasi yang disahkan, maka mendiamkannya adalah dosa politik. Inilah yang banyak dikeluhkan, yaitu DPT yang mengalami upaya penggelapan. Beberapa pihak mengeluh dan penulis akan mencontohan. Salah satu kelas di prodi KPI, terdapat anggota yang namanya tercantum dalam DPT, namun tidak mengetahuinya. Dia bingung, kosmanya lebih bingung. Seorang oknum di kelas yang disangka mengambil tanpa rujukan kosma, justru mengira surat mandatnya masih di pegang salah seorang “petinggi” Fakda, kejadian ini bergulir tanpa kejelasan sebelum dan setelahnya. Hingga nama-nama pemilih tertera dalam daftar yang ditetapkan, tanpa diketahui yang bersangkutan, dan hingga hari pemilihan, surat mandat tidak kunjung sampai di tangan. 


Praktik demikian menunjukan kecacatan proses pemilihan. Fakta ini memperlihatkan besarnya kemungkinan permainan suara oleh oknum berintegritas rendah. Kontrol PPM dalam mewujudkan Pemilwa yang adil, transparan, dan demokratis masih lemah. Menanggapi isu DPT, Abimanyu mengatakan “Untuk masalah itu kami kembalikan lagi ke kelasnya, seperti apa untuk internal kelasnya.”



Sepotong Gambar

Independen dalam sikap dan tindakan adalah syarat bagi PPM. Namun, salah seorang bernama Yazid Ayyash terbukti menodai syarat tersebut dengan ikut melakukan kampanye untuk salah satu paslon. Pelanggaran ini adalah gambaran lemahnya integritas yang dipegang, atau sama sekali ditinggalkan dan dibuang. Jadi dapat dikatan yang bersangkutan memang sudah tidak pantas menjadi panita, sebab ketidakmampuannya dalam menghayati nilai ideal yang harus dipegang. Abimanyu mengecewakan hal ini dan berterima kasih kepada pihak yang terus melakukan check and balance. Teguran dan Surat Peringatan sudah diberikan.


Hal semacam ini juga ikut serta menurunkan ketertarikan mahasiswa terhadap proses demokrasi kampus, selain pada sosialisasi yang belum optimal. Ketua Partai Bintang Orbit Mahasiswa, Muhammad Yusrin Alfath mengatakan bahwa timeline yang ditentukan begitu singkat dan mendadak, dia juga berharap adanya kreativitas dalam proses sosialisasi. Kondisi ini jelas makin menurunkan partisipasi mahasiswa dalam pemilwa. Abimanyu mengaku bahwa kondisi ini disebabkan pesanan birokrat untuk mempercepat timeline. 


Bukan hanya soal sosialisasi saja, penulis rasa, praktik dan orang yang begitu-begitu dan itu-itu saja masih menyandung populalitas Pemilwa di kalangan mahasiswa secara umum. Gelar kampanye di bawah gedung-gedung kosong, dan rentetan jadwal saat mahasiswa pulang kampung, masih menjadi ritual favorit. Ini mendongkrak tingginya sikap apatis mahasiswa, terlepas memang tidak seluruhnya mahasiswa dilibatkan penuh. 



Sebagai Mahasiswa, Apa Anda Tertarik?

“Tidak sama sekali.” Tegas Refi Adinda saat ditanya soal ketertarikan pada Pemilwa. “Tidak tertarik, menurutku Pemilwa tidak demokratis. Pelaksanaannya menurutku yang tau cuma dari beberapa pihak yang dianggap penting saja, jadi suara mahasiswa itu hanya seperti formalitas saja gitu.” Begitulah Rena Alfiyah mengeluhkan proses demokrasi di kampus. Hampir senada, Nurma Lailitasari juga tidak tertarik karena tidak mengetahui betul soal Pemilwa, terlebih merasa tiba-tiba sudah ada calon dan hanya dari orang-orang tertentu saja yang dirasa kurang pendekatan dengan mahasiswa secara umum. 



Sebagai mahasiswa, penulis ikut menyayangkan Pemilwa yang belum mampu menembus semua lapisan mahasiswa. Budaya ini sudah terlanjur tertanam begitu dalam. Sebelum berteriak soal hidup menghidupi, mari revolusi sistem demokrasi di kampus tercinta ini! Bukan hanya beban satu dua pihak saja, namun tugas dan tanggung jawab bersama, dengan masing-masing tugas dan fungsinya. Selamat kepada para pemenang hati mahasiswa. Semoga apa yang dijanjikan bukan sekadar omong kosong belaka. 



Penulis: Ade Arifin Yusuf dan Nafisah Az Zahra

Reporter: Aghny Nur Izzatilhaq, Muhammad Agung Nugroho, dan Nisrina Alifa 

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post