Kekerasan Seksual di Kampus Jadi Cermin Buram Dunia Pendidikan

Sumber: Google


Purwokerto, LPM Saka - “Kasus pelecehan seksual di dunia pendidikan itu seperti fenomena gunung es, jadi kelihatannya sedikit tapi di bawah itu bisa jadi lebih banyak.” ujar Sumiarti, salah satu dosen UIN SAIZU, dalam wawancara dengan LPM SAKA terkait Kekerasan Seksual di lingkungan kampus pada Rabu, (28/05/25).


Sumiarti juga menilai bahwa pelecehan seksual dalam pendidikan bukan hanya soal perilaku menyimpang, tetapi juga persoalan kejiwaan dan karakter. “Kalau ada kasus seperti itu, berarti ada yang salah dengan sistem pendidikan kita, Pendidikan seharusnya membentuk karakter baik, bukan sebaliknya,” tuturnya.


Senada dengan pernyataan Sumiarti, dosen lainnya, Bayu juga menilai bahwa pelecehan seksual dalam instansi pendidikan adalah hal yang seharusnya tidak terjadi. “Institusi pendidikan, apalagi perguruan tinggi merupakan sebuah simbol menara gading. Orang-orang di dalamnya–dosen, mahasiswa, tenaga pendidik adalah orang-orang terpilih. Maka jika kekerasan seksual terjadi, akan sangat terasa janggal. menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana mereka memaknai pendidikan?,” tegas Bayu.


Salah seorang mahasiswa turut menanggapi, bahwa dosen atau mahasiswa apalagi yang memiliki otoritas dapat menyalahgunakan posisinya untuk melakukan pelecehan, baik secara verbal maupun non-verbal. “Relasi kuasa itu rawan disalahgunakan. Dosen dianggap superior, sementara mahasiswa merasa takut dan terintimidasi,” jelas seorang mahasiswa.

 

Sementara itu, Ketua Dema FUAH, menyatakan bahwa kampus belum sepenuhnya aman. “Banyak korban yang enggan speak up karena takut atau merasa sendirian. Sangat disayangkan sekali, ketika mahasiswa mulai menempelkan poster edukatif tentang pelecehan malah dianggap tidak baik dan ditakutkan bisa membuat korban makin trauma,” tutur Fahmi.


Ia juga menyoroti respon dari kampus  yang terlihat begitu lambat dalam menangani kasus demikian, termasuk belum keluarnya keputusan dari komisi etik terkait hal yang terjadi. “Kami mendesak transparansi dan keadilan. Korban perlu dilindungi dan pelaku harus ditindak dengan tegas.”tambahnya.


Sejalan dengan itu, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak), Ida Noviati, menyatakan bahwa Satuan Tugas siap membantu selama ada laporan. Namun, laporan masih sangat minim. “Sayangnya, masih banyak korban yang enggan melapor karena takut atau malu, ini yang membuat kasus terus berulang,” ujarnya. 


PSGA telah menyiapkan spanduk yang di dalamnya berisi barcode mengenai sistem pelaporan daring serta program edukasi, meskipun pelaksanaannya terkendala situasi kampus yang sensitif.


Terakhir, Fahmi menjelaskan bahwa bidang pendidikan juga perlu mengintegrasikan kurikulum yang mencakup isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pendidikan ini membekali peserta didik dengan pemahaman tentang posisi dirinya dalam masyarakat.


“Perlu adanya kajian terhadap isu kesetaraan gender dan adanya mata kuliah kesetaraan gender, hal ini akan menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertindak,” ujarnya.


Melihat hal tersebut, para narasumber menyampaikan solusi yang dapat menekan banyaknya tingkat kasus pelecehan.


Pertama, perlu adanya edukasi yang menjadi pondasi utama dalam mencegah kekerasan seksual. Edukasi bukan hanya sekedar teoritis, pendidikan juga membentuk kesadaran akan nilai-nilai menghormati, dalam bersikap, dan batasan tubuh. 


“Mahasiswa dan siswa harus tahu apa itu pelecehan, bagaimana bentuknya – verbal, non-verbal, hingga digital – serta bagaimana bersikap jika menjadi korban atau saksi,” tutur Sumiarti.


Edukasi ini perlu menjangkau segala lapisan tenaga pendidik. Lembaga pendidikan didorong untuk memberikan pelatihan berkala bagi guru dan dosen mengenai etika profesional, relasi kuasa, serta pentingnya menciptakan ruang belajar yang setara dan bebas pelecehan dan kekerasan .


Kedua, keberanian untuk melapor harus dibangun di lingkungan kampus maupun sekolah. banyak korban kekerasan seksual enggan berbicara karena takut disalahkan ataupun tidak percaya akan tindak lanjut. 


“Pelaporan tidak harus dari korban langsung. Siapapun yang mengetahui atau mencurigai adanya kekerasan isa megadukan ke Satgas PPKS atau lembaga terkait,” jelas Ida. Ia menambahkan bahwa keterbukaaan lembaga dalam menerima dan menangani laporan akan sangat membantu memutus rantai kekerasan.

 

Ketiga, pembentukan ruang aman yang harus menjadi komitmen dan tindakan nyata bagi institut pendidikan. Ruang aman berarti tidak hanya secara fisik bebas dari kekerasan atau pelecehan seksual tapi juga secara sosial dan psikologis. Kampus dan sekolah diharapkan menyediakan fasilitas seperti konseling psikologis, pusat layanan aduan, hingga forum diskusi tentang pelecehan dan kekerasan seksual berbasis gender.



Reporter: Nafrotul Izza, Nafisah Az Zahra, Eri Stiowati, Rafli Jaylani

Penulis: Nafisah Az Zahra

Editor: Salsabil Alifia Pramesti, Nafisah Az Zahra


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post