Ketika Bendera One Piece Lebih Lantang dari Suara Kemerdekaan

Dok. Google



Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Rebublik Indonesia, masyarakat disuguhkan satu ironi nasional: bendera One Piece berkibar lebih dulu dan lebih ramai daripada Merah Putih. Di media sosial, di depan rumah-rumah kecil, di gang-gang sempit perkampungan, di dinding rumah, hingga menempel gagah di belakang truk-truk jalanan, bendera hitam bergambar tengkorak Jolly Roger bertopi jerami, lambang kru ”Bajak Laut Topi Jerami” pimpinan Monkey D Luffy di serial anime One Piece itu berkibar dengan bebas tanpa ragu. Yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin simbol fiksi dari dunia anime bisa mengalahkan daya pikat simbol negara yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa?

Simbol Fiksi yang Menggerakan Emosi

Menurut data dari Kompas.id (4 Agustus 2025), mencatat terdapat 74.900 cuitan tentang One Piece di platform media sosial X, yang menjadikan topik ”One Piece” menempati posisi trending nomor ke-11 di Indonesia. Di TikTok dan Instagram, tagar seperti #BenderaOnePiece dan #JollyRoger telah menembus jutaan views dalam hitungan hari. Dalam waktu singkat, simbol ini menjadi elemen visual yang sangat familiar di jagat maya dan di dunia nyata. Besarnya kekuatan visual dan emosional terhadap simbol ini menandakan adanya ikatan kolektif yang mendalam. Popularitas ini tentu tidak muncul begitu saja, namun muncul di tengah ketidakpuasan dan minimnya representasi dari simbol-simbol negara dalam kehidupan publik sehari-hari.

Pengibaran bendera One Piece tidak bisa hanya dianggap sebagai bentuk hiburan atau seru-seruan para penggemar anime. Banyak individu, terutama sopir truk dan pekerja jalan mengibarkan simbol ini sebagai bentuk reaksi kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil seperti larangan truk ODOL (Over Dimension Over Load) yang berdampak pada hilangnya pendapatan mereka. Alih-alih menggunakan kekerasan atau melakukan aksi protes, pengibaran Jolly Roger menjadi sebuah cara untuk mengekspresikan kritik dan perlawanan sosial yang bersifat simbolis. Selain itu bendera One Piece dianggap mewakili keresahan publik atas berbagai masalah yang terjadi akhir-akhir ini, seperti pembekuan rekening yang tidak digunakan selama tiga bulan, penyitaan tanah yang menganggur selama dua tahun, dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.
Respon Elit Politik Cenderung Defensif dan Repressif

Dalam dunia fiksi One Piece,‘Bajak Laut Topi Jerami' adalah simbol perlawanan terhadap tirani. Monkey D. Luffy, protagonis dari One Piece, adalah representasi moral dari perlawanan terhadap sistem korup, otoritarian, dan tidak adil. Mereka melawan pemerintah dunia yang penuh manipulasi. Simbol terngkorak bertopi jerami itu bukan sekedar gambar, ia adalah lambang kebebasan, perlawanan, dan impian dunia yang adil. Tidak mengherankan jika sebagian rakyat merasa lebih terwakili oleh figur tersebut dibanding politisi nyata di negeri ini. 

Sayangnya sebagian anggota elit politik menghadapi fenomena ini dengan cara yang cenderung defensif dan represif. Bukan bendera separatis, bukan pula simbol radikal, tetapi lambang kelompok bajak laut fiktif dari anime One Piece. Akan tetapi, reaksi negara terhadap bendera ini mengejutkan. Bendera fiksi ini dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan, simbol makar, dan penghinaan terhadap Merah Putih. Sejumlah pejabat negara ramai-ramai mengecamnya. Polisi mulai razia, mural-mural dihapus, bahkan ada yang mengusulkan proses hukum.

Tempo.co dan CNCB Indonesia melaporkan bahwa pernyataan-pernyataan berlebihan ini menunjukkan ketidakmampuan negara dalam memahami simbol tersebut. Negara lebih cepat merespons bendera anime ketimbang merespons keluhan mendasar rakyat. Masalah sebenarnya bukan terletak pada siapa yang mengibarkannya, melainkan mengapa negara begitu mudah merasa terancam oleh simbol yang berasal dari dunia fiksi tersebut. 

Beberapa pakar hukum menilai bahwa tidak ada dasar hukum yang cukup untuk memidanakan aksi pengibaran bendera One Piece selama tidak melanggar ketentuan formal mengenai penghormatan terhadap bendera merah putih. Bendera One Piece boleh dikibarkan asal posisinya berada di bawah bendera Merah Putih dan ukurannya lebih kecil. Pengibaran bendera One Piece juga merupakan bagian dari kebebasan bereskpresi, dimana kebebasan bereskpresi semdiri dijamin dalam UUD 1945 dalam pasal 28E ayat (3) dan pasal 28E ayat (2).

Bajak Laut Tak Punya Negara, Tapi Punya Martabat

Bendera yang seharusnya menjadi lambang persatuan dan pengorbanan tapi saat ini tidak mencerminkan realitas di masyarakat. Nasionalisme yang tidak menjawab kebutuhan sehari-hari akan kehilangan arti, dan kekosongan itu kini telah diisi oleh simbol-simbol lain yang lebih relevan. Apa yang kita lihat sekarang merupakan krisis kepercayaan publik terhadap simbol negara. Bendera Merah Putih, yang seharusnya membangkitkan semangat kebersamaan, kini terlihat kosong di mata masyarakat yang merasa tidak diperjuangkan oleh pemerintah.

Sebagian masyarakat, termasuk sopir truk, tidak menolak keberadaan Merah Putih. Mereka hanya mempertanyakan: di mana Merah Putih saat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan? Di mana Merah Putih ketika jalan tol ditutup untuk truk mereka tapi dibuka lebar untuk kepentingan oligarki logistik? Di mana Merah Putih saat aparat lebih cepat mengatasi mural ketimbang menyelesaikan masalah korupsi bansos?

Sebuah negara demokratis seharusnya melihat kritik ini sebagai cerminan, bukannya suatu ancaman. Daripada memperbaiki simbol-simbol yang tidak nyata, negara seharusnya memperbaiki hubungan sosial-politiknya dengan rakyat. Ketika suara masyarakat lebih terdengar melalui bentuk yang tidak nyata, itu menunjukkan bahwa lembaga formal kehilangan legitimasi. Nasionalisme tidak dapat dipaksakan melalui peraturan. Ia muncul dari rasa keadilan. Ketika rasa keadilan itu menghilang, jangan salahkan masyarakat jika mereka memilih simbol lain, bahkan yang tidak nyata, untuk menghidupkan kembali semangat mereka. Pada akhirnya, bangsa ini akan dihormati bukan karena ketakutan, tetapi karena keadilan.



Sumber:
harianjogja.com
hukumonline.com
kompas.id
liputan6.com
tempo.co
detik.com


Penulis: Eri Stiowati
Editor: Nafisah Az Zahra 

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post