Dr. Hj. Tutuk Ningsih, M.Pd.: Motivasi terbesar adalah dukungan dari Sang Suami.



Dr. Hj. Tutuk Ningsih, M.Pd. adalah seseorang yang tak pernah menyangka dirinya akan menjadi dosen, apalagi sampai melanjutkan jenjang pendidikan hingga S3. Motivasi itu muncul begitu kuat karena berkat dorongan suami dan orang tua.

Tutuk mengawali pendidikan dasarnya di Jawa Timur. Kemudian semasa SMA dia tinggal bersama kakaknya di Kalimantan Tengah. Selepas SMA (tahun 1984) wanita yang mempunyai hobi memasak ini menikah dengan teman kakaknya yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Palangkaraya.

Meski telah menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Namun itu tidak membuatnya patah semangat untuk terus belajar. Maka di tahun 1994, anak kedua dari empat bersaudara ini mendaftar  kuliah di Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Tetapi di Universitas tersebut, Tutuk hanya sampai semester dua Itu karena dia mendapat info bahwa ada pendaftaran mahasiswa baru di IAIN Antasari Palangkayara Kalimantan Tengah. Tutuk yang mengaku saat itu sangat awam ilmu agama –karena orang  tua yang sering pindah-pindah-- berniat ingin sekali mendalami ilmu agama. Akhirnya Tutuk memutuskan untuk mendaftar kuliah lagi. Tutuk mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Antasari. Suaminya yang sangat agamis mendukung penuh akan hal itu.

Tutuk mengenang semangatnya ketika kuliah. Sampai membawa bayinya ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN). “Saya bawa bayi empat bulan waktu KKN” katanya kepada wartawan Suara STAIN ketika diwawancarai. Tutuk bahkan mampu menyelesaikan studinya tepat waktu, yakni persis empat tahun bisa lulus S1. 

Sesudah lulus S1, Tutuk menjadi dosen luar biasa di Universitas Palangkaraya. Kemudian dia mencoba mendaftar menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah (MI) namun gagal. Cerita menarik timbul dari kegagalan tersebut. Tutuk bercerita setelah dinyatakan tidak diterima menjadi guru MI, ada salah satu kawannya yang bertanya tentang hasil tes tersebut. Tutuk yang tengah berdiri di depan Masjid Salahudin Palangkaraya hanya menjawab bahwa mungkin dia disuruh jadi dosen. Dan ternyata hal demikian dikabulkan oleh Allah. Setahun setelah kejadian itu, dibuka pendaftaran menjadi dosen di Universitas Palangkaraya. Persyaratannya adalah harus menjadi dosen luar biasa di Universitas tersebut. Dan kala itu yang menjadi dosen luar biasa hanyalah Tutuk. Maka peluang itu  dengan mudah diambil olehnya. “Ini semua rahasia Allah yang sangat luar biasa” kata wanita kelahiran 16 September 1964 ini dengan mata yang berkaca-kaca.

Tutuk menjadi dosen di Universitas Palangkaraya sampai tahun 2001. Ketika itu terjadi tragedi Sampit. Tutuk yang masih ada keturunan Madura, akhirnya pindah ke Jogja. Suaminya kala itu tengah menjabat sebagai pembantu rektor di Universitas Palangkaraya, sehingga tidak bisa ikut bersama Tutuk. Di Jogja, Tutuk nganggur selama setengah tahun. Setelah itu dia memutuskan mendaftar S2 di Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS). Tutuk dan suaminya pisah selama tiga tahun. Namun motivasi dari suami sangat kuat, sehingga membuat Tutuk selalu bersemangat. “Sampai-sampai saya membuat proposalnya di mobil” kenang Tutuk.

Tutuk menyelesaikan S2 pada tahun 2005. Objek Tesis dalam penelitiannya berada di daerah Probolinggo. Tutuk meneliti pendidikan moral di sekitar Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton. Pasalnya, di daerah Pondok Pesantren tersebut sangat banyak praktek sabung ayam. Hal ini unik, karena mereka melalukan praktek sabung ayam, juga tetap melakukan sholat.

Wanita yang tinggal di Griya Satria II Sumampir ini, selepas menamatkan S2 mendapat panggilan lagi untuk menjadi dosen di Universitas Palangkaraya. Tetapi karena masih diliputi rasa takut akan konflik Sampit, maka Tutuk tidak memenuhi panggilan itu. Akhirnya dengan restu dari suami, pada Agustus 2005 Tutuk pindah ke STAIN Purwokerto. Tutuk menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah.

Tahun 2010, Tutuk mengantar salah seorang temannya untuk mendaftar beasiswa kuliah S2. Namun tidak pernah menyangka sama sekali bahwa di tempat pendaftaran tersebut, Tutuk diberitahu kalau ada banyak sekali beasiswa S3. Tetapi yang mendaftar sangat sedikit. Kemudian Tutuk mengambil kesempatan itu mendaftar beasiswa kuliah S3. Tutuk diterima untuk melanjutkan kuliah S3 di jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Tutuk mengakui kemandiriannya benar-benar terasah ketika menempuh kuliah S3. Hal tersebut karena jauh dari suami. Juga dengan berbagai rintangan dan cobaan. Dukungan dari suaminya hanya diperoleh dari jarak jauh. Meski begitu tetap membuatnya sangat kuat dan tegar. Dengan mengingat motivasi dari suami lah Tutuk menjadi semangat untuk segera menyelesaikan menyelesaikan S3-nya.

Akhirnya Tutuk berhasil menyelesaikan S3 di tahun 2015. Tutuk melakukan saran dari suaminya dan salah satu dosen STAIN yang bernama Suwito NS untuk menuliskan apa saja. “Semua yang ada di otak, ditulis saja dan diketik. Lama-lama tulisan itu akan menjadi halus sendiri” cerita Tutuk bersemangat. 

Dalam mengarungi bahtera kehidupannya, Tutuk lebih menyukai “mengikuti aliran air”. Hal ini maksudnya bahwa kehidupan seperti apapun harus diterima dan harus dijalani tanpa adanya perlawanan. Menurut Tutuk, ketika sudah bisa mengikuti aliran air, maka akan sampai pada muara kebahagiaan. Muara kebahagiaan itulah yang sangat ingin Tutuk bagikan kepada banyak orang. Seperti air yang bermuara ke lautan, ketika sudah di lautan maka air tersebut akan mengalir lagi ke berbagai penjuru.

 Di akhir wawancara dengan wartawan Suara STAIN, Tutuk berpesan kepada para mahasiswa untuk selalu menjadi orang yang rajin. Karena ketika sudah rajin maka akan menjadi pintar. Tetapi kalau jadi orang yang pintar, biasanya akan menjadi orang yang malas. Tutuk mengakui, keberhasilannya merupakan rahasia Allah yang begitu manis. Tutuk membangun dimensi spiritual dengan melakukan puasa Daud dan shalat Dhuha.

Tutuk juga senantiasa mengajak para mahasiswanya untuk “berakit-rakit dahulu, berenang kemudian”, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tutuk sangat ingin membahagiakan seluruh mahasiswanya. “Syaratnya ya itu, harus mau saya ajak bersakit-sakit dahulu, baru nanti akan saya kasih kebahagiaan” Tutuk tertawa seraya mengakhiri perbincangan dengan wartawan Suara STAIN. (Amel)

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post