Menganyam Harapan dengan Bambu


Angin berbisik nyanyian pengantar tidur sore itu kepada Karisah (45 tahun) yang kemudian ditampiknya dengan segera. Lelah dan kantuk, harus jauh-jauh darinya karena bisa-bisa ia sekeluarga tak akan bisa makan malam hari ini, tak bisa menyiapkan segelas kopi pada suaminya dan tak bisa membelikan cemilan untuk cucunya. Tangan keriputnya terampil menganyam helai demi helai bambu tipis, bakal calon tampah. Selepas magrib nanti, pengepul akan datang menukar hasil kerjanya dengan uang, maka ia harus menyelesaikan anyaman tampahnya segera.

Bantar, merupakan sebuah dusun kecil yang terletak di pinggiran sungai Serayu Desa Kertayasa Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Meski dusun ini terpinggirkan, namun hasil olahan bambu seperti tampah, dari tempat ini mempunyai kualitas yang unggul dan menjadi favorit masyarakat Banjarnegara sehingga harganyapun dipatok lebih mahal karena terkenal kuat dan tahan lama.

Hal ini menjadi kesempatan tersendiri bagi para ibu-ibu rumah tangga dusun Bantar untuk mengisi kejenuhannya sekaligus mendapat uang belanja tambahan dengan membuat kerajinan bambu, seperti Karisah. Ia hanya perlu telaten menganyam dan mengatur sedemikian rupa agar sesuai pola yang telah direncanakan sejak awal. Meski kedua tangannya sibuk dan perlu konsentrasi, tapi ia bisa menyelesaikan tampahnya sambil mengobrol maupun menjaga cucunya seperti saat ini.

Semua anak gadis dan lelaki di dusunnya sejak dini diwariskan kemampuan membuat berbagai olahan bambu, karena hanya ini satu-satunya yang memang mereka miliki untuk bekal kalau-kalau nanti pekerjaan mapan tak kunjung memanggil nama anak-anak mereka. Demikian halnya Karisah, yang hanya lulusan SD ini menggantungkan hidup dari tampah. Terlebih ketika suaminya berhenti menjadi supir truk, ia harus mengerahkan tenaganya lebih giat agar dapur rumahnya tetap mengepul dan anaknya dapat bersekolah tinggi seperti mimpi kecil dalam hatinya.

Anyaman tampah yang rumit tapi kuat itu menggambarkan harapan-harapan Karisah. Ia telah dua kali gagal menyekolahkan dua anak pertamanya, yang hanya mampu di tingkat Madrasah Tsanawiyah (atau setara dengan SMP). Kini harapan itu tinggal satu-satunya bertumpu pada putra bungsunya yang sedang menempuh pendidikan SMK jurusan Arsitektur. Pada tiap anyaman tampahnya, Karisah selalu berharap dan tak letih berdoa semoga ia mampu mengantarkan putranya menggunakan baju toga sarjana.

Tampahnya telah selesai kali ini, dalam satu minggu ia bisa membuat 10 biji tampah. Dari itu ia akan mendapatkan uang setidaknya Rp. 200.000, cukup untuk membeli sayuran dan sedikit ditabung. Malam ini kebetulan suaminya mendapat panggilan untuk menyupiri bus travel, sehingga Karisah harus segera menyiapkan kopi dan makan malam.

Rumahnya sekarang sudah layak dikatakan sebagai tempat tinggal berkat bantuan kedua anaknya yang telah bekerja. Meski tak begitu luas, tapi ia lebih merasa aman saat akan ditinggal oleh suaminya seperti malam ini. Dulu, saat rumahnya masih bertembok kayu dan berlantaikan tanah, ia selalu khawatir akan hal-hal buruk. Menu makan malam hari ini ialah tumis rebung daun melinjo yang ia dapat dari pohon bambu belakang rumah. Sederhana, namun terasa nikmat karena sambil berkumpul dan bersenda gurau bersama keluarga kecilnya.

Dari pohon bambu, ia belajar banyak mengenai arti wanita dalam keluarga. Bukan hanya karena bambu-bambu dapat menjadi sandaran hidup baginya dan bagi semua warga Bantar, tetapi keberadaan bambu yang dapat menyejukkan siapa saja yang berteduh juga kemultifungsiaannya membuat Karisah ingin seperti itu. Bahwa wanita harus mandiri dengan keteduhan serta keserbabisaannya.

Penulis: Tasaqofatu Anis Mardhiyah
Editor: Elma
Illustrasi: Muhamad hafsin

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post