Drama Politik Kampus Kita

Illustrasi : Elma Muflihatul Z


Purwokerto, LPM Saka – Sebagai miniatur negara, kampus menjadi ladang mahasiswa untuk belajar banyak hal. Salah satunya dunia perpolitikan. Sama dengan alur perpolitikan di negara. Kampus juga melaksanakan pemilihan secara demokrasi. Pemilihan secara demokrasi yang pertama yakni pencoblosan Partai Politik Mahasiswa (Parpolma) di Auditorium Utama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto pada, Senin (25/02/2019).

Untuk mencapai demokrasi yang ditujukan. Mahasiswa mempunyai strategi, yakni dengan kampanye. Sayangnya, kampanye hanya dilakukan ketika menjelang Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemiluwa). Akibatnya, jarang ada mahasiswa yang paham dunia politik di kampusnya. Kecuali mereka yang ‘bermain’ dan ‘berperan’ di dalamnya. Bahkan, karena para pasangan calon (paslon) hanya ‘bermain’ ketika Pemiluwa. Para pemilih menjatuhkan pilihan kepada wajah yang sempat masuk kelas. Dan menyampaikan segelintir programnya.

“Kebetulan (calon presiden) Dema  I yang masuk cuma satu. Karena tahunya itu jadi pada milih itu aja,’’ ujar salah satu mahasiswa semester 2 Pendidikan Agama Islam (PAI) A, Alisa Zanuba.

Setelah kampanye, para paslon yang berkontestasi diuji. Mereka beradu gagasan melalui debat. Debat berlangsung selama dua hari. Terhitung sejak Selasa-Rabu, (19-20/03/2019). Namun, di hari pertama sepi peminat. Lantaran yang dijadwalkan hanya LK dari jurusan. Sehingga tidak menarik mahasiswa untuk datang. Baru di hari kedua Gedung Student Center (GSC) IAIN Purwokerto membludak. Karena berlangsung debat Dema Institut.


Manfaatkan Media untuk Kampanye

Selanjutnya, pencoblosan LK Eksekutif dilaksanakan di Auditorium Utama IAIN Purwokerto pada, Senin (25/03/2019). Sama dengan sistem pencoblosan LK Eksekutif tahun sebelumnya. Setiap kelas harus mengirimkan tiga perwakilannya untuk mencoblos. Meskipun begitu, sistem tersebut masih menimbulkan pro dan kontra. Karena dianggap efektif dan tidak efektif.

“Efektif, sih, karena kan sebelum pemiluwa udah musyawarah dulu loh di kelas. Siapa yang mau dipilih. Terus yang mau dipilih itu mau yang mana,” ujar mahasiswa 2 PAI B, Bayu Anisa.

Namun, Bayu juga menyayangkan paslon yang tidak memanfaatkan media secara masif. Lantaran pamflet paslon yang tersebar melalui media sosial. Masih ada yang belum tercantum kinerjanya.

“Sebenarnya sekarang kan udah ada media ya. Pasti dari relawannya juga udah sering ngeshare terus pasti udah pada tahu. Tapi ada juga yang kinerjanya enggak dicantumin. Jadi tahunya yang terkenal aja,” tutupnya.


Menggugat Sistem Pencoblosan LK Eksekutif

Meskipun begitu, sistem tersebut juga dianggap tidak mewakili suara mahasiswa. Sehingga, terjadi kendala sebelum pelaksanannya. Salah satunya perbedaan pendapat ketika musyawarah kelas berlangsung.

“Pasti banyak kendala. Ada perbedaan pendapat. Cara menyalurkan suaranya itu bingung. Karena setiap mahasiswa berbeda pendapat. Jadi, tetep aja menurut saya kurang efektif,” ujar mahasiswa 4 Bimbingan Konseling Islam (BKI) C, M Nur Iskandar di IAIN Purwokerto pada, Senin (25/03/2019).

Selain itu, sistem tersebut juga dianggap tidak mewakili suara mahasiswa. Iskandar mengungkapkan, banyaknya anggota parpolma di kelasnya. Mengakibatkan suara mahasiswa yang minoritas menjadi tidak terdengar.

“Karena mereka banyak juga dari partai pengusung. Dengan begitu mereka juga kurang setuju. Karena misal mereka di partai a dominan tetapi yang mendukung itu kebanyakan partai b. jadi suara mereka itu tidak tersampaikan. Yang harusnya tersampaikan dengan hak mereka memilih partai tersebut tetapi tidak,” tutupnya.


Pengakuan Tim Sukses Parpolma

Masalah juga timbul dari tim sukses Parpolma. Salah satunya pengakuan dari mahasiswa IAIN Purwokerto, MA. Ia mengungkapkan parpolma yang diikutinya mendorong untuk memenangkan partainya. Dengan menghalalkan berbagai cara. Salah satunya mencoblos paslon partainya meskipun harus mengkhianati mufakat kelas.  

“Sebenarnya sih ada dua. Ya, ada dari bendera. Kedua, ya dari ego sendiri. Dorongannya ya kita itu untuk memenangkan salah satu paslon. Ya, dengan cara apapun, sih,” ujarnya pada, Kamis (28/03/2019).

Namun, ia berdalih upaya yang tidak mencoblos kotak kosong sesuai mufakat kelas. Menurutnya, ini salah satu bentuk penyadaran terhadap mahasiswa yang apatis pada politik kampus. Ia khawatir keapatisan tersebut akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.



Reporter : Gema Sahara dan Umi Uswatun Hasanah
Editor     : Wilujeng Nurani

3 Comments

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

  1. Politik di kampus itu berorientasi dengan pembelajaran. Politik kita sudah terbukti tertib. Masalah yang fundamental sebenarnya adalah bagaimana membangun kultur antusias terhadap PEMILUWA. Didalam politik yang namanya lawan itu sudah maklum bukan termasuk masalah yang harus dikritisi menurut ku, karena itu sebagai dinamika politik. Disini pihak yang kalah atau yang menang itu sama sama penting, bukan malah merasa terkalahkan atau merasa tidak adil terhadap sistem politik kampus yang sudah berjalan. Yang terpenting itu adalah persatuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah kampus, yang hari ini sudah sedikit demi sedikit merugikan mahasiswa. Perpecahan pasca PEMILU itu yang menjadi pecahnya mahasiswa. Kita akan lemah jika telah terpropaganda untuk pecah, tanpa daya dan tidak bisa berkutik melihat birokrasi kampus yang semakin mapan dalam melakukan strategi nya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post