M. Wildan Humaidi: Tidak Pro Rakyat, Omnibus Law Cipta Kerja Hasil Otoritarianisme Gaya Baru
![]() |
M.
Wildan Humaidi saat diwawancara oleh reporter LPM Saka di Ruang Dosen Fakultas
Syariah IAIN Purwokerto pada Jumat (13/03/2020). |
LPM Saka, Purwokerto – Setelah resmi dilantik, Presiden Joko Widodo
menyampaikan lima agenda besar untuk lima tahun ke depan dalam Pidato
Kenegaraannya di Kompleks Parlemen RI, Jakarta pada Oktober 2019 lalu. Lima agenda
besar tersebut yakni pembangunan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur,
penerbitkan Omnibus Law, penyederhanaan birokrasi, serta transformasi
ekonomi.
Namun,
ada salah satu agenda yang memicu aksi demonstrasi dari berbagai elemen yakni penerbitan
Omnibus Law. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan Omnibus
Law akan mengemas UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM pada satu
payung. Dalam perkembangannya, Omnibus Law Cipta Kerja berencana akan
merevisi 1.244 pasal pada 79 undang-undang yang mencakup 11 klaster.
Perihal
Omnibus Law Cipta Kerja, reporter LPM Saka berhasil melakukan wawancara
eksklusif dengan salah satu dosen Hukum Tata Negara (HTN) IAIN Purwokerto, M. Wildan Humaidi
di Ruang Dosen Fakultas Syariah, Jumat (13/03/2020) lalu. Dalam wawancara
kali ini, Wildan berbagi pandangan terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Berikut
hasil wawancara reporter LPM Saka dengan M. Wildan Humaidi:
Bagaimana tanggapan Anda
tentang Omnibus Law Cipta Kerja?
Di Indonesia, Omnibus Law sebenarnya bukan hal baru. Indonesia punya UU Payung. Contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Semua hukum pidana diatur di situ. Tetapi, kemudian belakangan dipecah-pecah.
Korupsi sendiri, money laundering sendiri. Konsep sistem UU Payung di Indonesia
sebenarnya bukan hal yang aneh, bukan hal baru, tapi hal biasa. Namun,
penerapan Omnibus Law kali ini justru dibalik, yang kecil-kecil dipayungi
dalam satu UU. Kalau dulu, UU satu memayungi UU yang banyak.
Kemudian, kenapa RUU Cipta Lapangan Kerja paling banyak disorot? Karena
RUU Cipta Lapangan Kerja ini dianggap merugikan kepentingan buruh. Lantaran pemerintah
mau bikin kebijakan yang kira-kira menyamakan atau memberikan kemudahan bagi
para investor dengan cara Omnibus Law. Pemerintah ingin menyamaratakan
upah yang berbeda-beda. Jadi, Omnibus Law Cipta Kerja ini
mempunyai konten yang bermasalah.
Apakah Anda sepakat dengan Omnibus Law Cipta Kerja?
Ada beberapa hal yang membuat saya secara pribadi tidak sepakat dengan
Omnibus Law Cipta Kerja, karena di dalamnya terdapat konten yang bermasalah.
Pertama, saya sebagai seseorang yang belajar di Hukum Tata Negara, saya
belajar di konsentrasi keilmuan hukum, saya melihat di sini ada yang aneh.
Anehnya kenapa? Omnibus Law ini tidak mengakomodir kepentingan rakyat.
Kedua, secara metodologi Omnibus Law terkesan
dipaksakan. Siapa sebenarnya yang butuh, drafnya bagaimana, kepentingannya
untuk apa, kemudian orientasinya kemana. Karena pembuatan UU ada caranya.
Diatur dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ada asas asasnya. Ada asas kecermatan, ada asas jelas tujuannya untuk apa.
Ketiga, ada gaya otoritarianisme gaya
baru. Omnibus Law ini akan memberikan delegasi kepada pemerintah. Kenapa
UU diturunkan? Karena UU memperjelas ketentuan yang ada di atasnya. Kemudian, Omnibus
Law juga memberikan sekitar 500 delegasi wewenang kepada pemerintah untuk
membuat aturan lebih lanjut atau aturan teknis tentang Omnibus Law.
Pemerintah itu siapa? Presiden. Berarti Presiden akan diberikan kewenangan lebih
luar biasa dengan 500 delegasi wewenang.
Keempat, jika dikembalikan kepada konsep
teori trias politika yang kita punya, pemerintah disebut dengan eksekutif, dia
hanya menjalankan. Yang bikin UU itu legislatif yakni DPR. Nah, sekarang kok
justru malah bergeser ke pemerintah. Maka, bisa jadi pemerintah punya dampak yang
saya sebut tadi, otoritarianisme gaya baru.
Bagaimana dampak positif Omnibus Law Cipta Kerja?
Kalau kita berbicara tentang dampak positif, saya belum yakin ada
dampak positif yang pasti. Tapi secara menduga-duga, setidaknya investasi di Indonesia
akan bertambah maju. Memang kalau berbicara investasi kita enggak boleh menutup
diri. Karena ini kepentingan global. Indonesia sebagai sebuah negara tentu
tidak boleh menutup kran investor asing masuk ke Indonesia. Apalagi Indonesia
sudah masuk MEA. Sehingga mengharuskan Indonesia terbuka dengan negara lain.
Nah, kondisi keterbukaan ini juga harusnya membuat pemerintah kita siap dengan
segala Peraturan Perundang-undangan.
Namun, ketika investor masuk apakah betul investasi di Indonesia
bertambah tinggi? Atau benarkah pengangguran akan semakin berkurang? Belum
tentu. Ya kalau pekerjanya pakai di sini. Kalau investor Cina menggunakan para
pekerja Cina, terus kita mau ngapain?
Artinya, saya menduga belum ada jaminan secara pasti bahwa kita
akan dapat dampak positif. Tapi, setidaknya dari Omnibus Law itu yang
paling bisa kita ambil positifnya ya investasi akan naik, akan memperbaiki
keadaan ekonomi kita. Tapi apakah berdampak pada kebutuhan atau kehidupan
masyarakat secara luas? Ya belum tentu. Kalau kepentingan global kan tidak bisa
dipastikan.
Bagaimana dampak negatif Omnibus Law Cipta Kerja?
Kalau dampak negatifnya tentu luar biasa banyak. Seperti, tidak ada
jaminan untuk buruh, upah minimum dihilangkan, dan kesulitan untuk mengajukan
cuti liburan. Kemudian, di Omnibus Law juga diatur kemudahan untuk
memutus atau PHK lebih cepat. Selama ini, di Indonesia itu ada banyak aturan.
Ada bipatride. Kalau karyawannya dipecat enggak terima maka diselesaikan antara
pihak perusahaan dengan karyawan. Jadi, Kalau enggak terima maka karyawan boleh
naik ke pengadilan. Namun, di Omnibus Law hal itu dihilangkan.
Menurut Anda, pasal apa saja yang bermasalah di Omnibus Law Cipta
Kerja?
Kalau ngomongin pasal bermasalah saya langsung ke Ketentuan Peralihan
di Pasal 170 RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Bahwa pemerintah berhak atau bisa
merubah ketentuan UU. Berarti pemerintah bisa merubah Ketentuan UU dengan PP. Padahal
PP berada di bawah UU. Lah ini bisa saja pemerintah mengeluarkan PP, PP-nya
nanti mengubah UU. Ini yang saya sebut otoritarianisme gaya baru. Jadi,
pemerintah sewaktu-waktu jika dimungkinkan akan mengubah UU dengan PP.
Berarti kira-kira kalau dalam Islam kita analogikan, Al-Qur’an bisa
direvisi dengan Hadits. Padahal seharusnya Hadits memperjelas, memperkuat Al-Qur’an.
Kira-kira seperti itu. Katanya kesalahan ketik. Tapi kan enggak lucu. Sebuah RUU
dipublis, muncul di hadapan masyarakat, kemudian dianalisis oleh masyarakat, “Oh
itu kesalahan ketik”.
Ada poin-poin penting yang bermasalah, masalahnya bukan di Omnibus
Law, tapi pada konten. Metodenya si sah-sah saja. Kontennya yang justru
banyak masalah. Kalau poin yang pro rakyat sampai saat ini saya belum
menemukan. Pro lebih kepada investor bukan untuk rakyat. Karena izin usaha
dipermudah, izin perpanjangan usaha dipermudah. Di Omnibus Law Cipta
Kerja dimungkinkan investor menyewa sekian tahun. Kan, bertentangan dengan
keputusan MK. Padahal, MK menyebut dalam putusannya bahwa perpanjangan
investasi enggak boleh diperpanjang sekaligus. Harus dilihat kenapa. Mungkin
kalau untuk orang Indonesia yang punya modal ya senang dengan UU ini. Sehingga,
suara yang paling keras kan partai Golkar, Nasdem, yang sudah menyatakan
setuju. Kenapa? Karena dua partai tersebut isinya pengusaha.
Bagaimana peran civitas academica dalam menghadapi Omnibus Law Cipta
Kerja?
Mahasiswa itu punya peran sebagai kontrol sosial. Mahasiswa perlu
mengontrol kalau ada kebijakan yang tidak sesuai, lalu kembalikan pada rel yang
benar. Saya mengajak teman-teman mahasiswa untuk turut serta menyadarkan
publik. Karena Omnibus Law itu hanya dipahami oleh orang-orang yang sadar
dan melek hukum. Misalkan, kalau kita tanya para pekerja, orang-orang yang ada
di pasar, tukang becak, dan orang-orang yang ada di luar sana ya tidak mengerti
fungsi Omnibus Law Cipta Kerja.
Sehingga, mahasiswa berfungsi mengajak masyarakat secara luas. Kita
sadarkan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja bermasalah. Kita hidupkan alarm, ada
bahaya otoritarianisme gaya baru. Mahasiswa harus memukul lonceng keras-keras. Bilang
ke masyarakat bahwa ini masalah. Karena mahasiswa punya kontrol sosial. Kalau
mahasiswa bilang, “Loh kan saya enggak berkepentingan.” Oke hari ini kalian enggak
berkepentingan. Setelah kuliah kalian mau kerja. Dihadapkan pada aturan-aturan
kerja yang itu tunduk pada Omnibus Law Cipta Kerja.
Caranya tentu harus elegan, tidak harus brutal, dan sebagainya. Mahasiswa
bisa membuat tulisan, hadirkan berbagai macam tulisan protes itu, kirimkan ke
media. Teman-teman juga bisa bikin surat terbuka pada Presiden, protes kepada
ketua partai, karena Omnibus Law sekarang berada di tangan DPR. Saya
juga sarankan kepada mahasiswa agar memberikan penyadaran kepada ketua partai.
Misal, mahasiswa datang ke kantor Parpol di sekitar Banyumas. Karena kekuasaan
sekarang berada di tangan DPR. Kalau DPR setuju selesai sudah kita.
Reporter : Alvin Hidayat dan Ulfatul Khoolidah
Editor : Umi Uswatun Hasanah
Post a Comment