Rumah Tak Berjendela

 

Ilustrasi : Pexels.com

Cerpen - Suasana kampung Semar di malam hari nampak berseri terutama bagi keluarga Ki Seno, pemimpin dari kampung Semar. Malam itu merupakan malam terindah bagi Ki Seno karena istrinya bernama Ningsih telah melahirkan anak pertama mereka berjenis kelamin perempuan. Anak itu memiliki paras yang rupawan, berambut ikal dengan tanda lahir berbentuk matahari di tangan kanannya. Ki Seno beserta istri memberikan nama Mesya yang memiliki arti penyelamat.


Kegembiraan tak hanya dirasakan oleh keluarga Ki Seno, namun juga oleh ketujuh keluarga yang ada di kampung Semar. Ya. Kampung Semar hanya dihuni oleh tujuh keluarga termasuk keluarga Ki Seno.


Keunikan kampung tersebut tidak hanya terletak pada jumlah keluarganya, namun semua rumah tak mempunyai jendela dan juga dinding rumah terbuat hanya dari kayu. Bukan tanpa alasan setiap rumah tidak memiliki jendela. Yang pasti alasan itu menjadi tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.


Kampung Semar terletak di badan Gunung Sejati yang jauh dari pusat kota bahkan jalan aspal. Keseharian mereka hanya bercocok tanam dengan hasil berkebun yang memuaskan. Tak heran, sekali turun gunung untuk menjual sayur-mayur maka dagangan yang dijajakan selalu habis tanpa sisa.


Tugas berjualan ditanggungkan kepada Ki Seno, sebab hanya dia yang memiliki motor di kampung Semar. Tak jarang motornya mogok di jalan bahkan Ki Seno pernah terpleset saat menuruni gunung. Seringnya pergi ke kota membuat Ki Seno jatuh hati pada salah satu pelanggan setianya, yaitu Ningsih yang sekarang sudah menjadi istrinya.


Tahun terus berganti. Cocok tanam di Kampung Semar terus dilakukan mengikuti musim. Mesya kini berusia 5 tahun. Ia tumbuh menjadi gadis yang periang dan cerdas seperti ibunya.


“Mesya hati hati, awas menginjak kubis…” suara ibu Ningsih.


Mesya yang berlarian bersama teman sebayanya. Dengan lugu hanya mengiyakan sambil tertawa riang. Hingga Ki Seno kemudian memanggil Mesya dan istinya untuk pulang karena hari sudah mulai petang.


Siang berganti malam. Hanya lampu teplok sebagai penerang di Kampung Semar. Suasana yang sunyi membawa suara jangkrik dan anjing tanah terdengar keras di telinga. Kampung Semar memang sangatlah kuno dan jauh dari peradaban. Semua penghuni tidak mengenal pendidikan bahkan agama pun mereka tidak punya. Mereka menganggap tradisi dari nenek moyang adalah yang paling berharga dan harus dilestarikan.


Suatu malam, Ki Seno sedang duduk bersama istrinya, sedangkan Mesya bermain dengan  boneka kelincinya. Suasana yang hening membuat Mesya memikirkan suatu hal yang ia tanyakan kepada Ki Seno.


“Bapak, kok rumah kita sama rumah yang lain ga ada jendelanya ya?.. Padahal di rumah nenek di kota ada jendelanya,” ungkap Mesya.


Mendengar hal itu, Ki Seno mencoba menjawab dengan tenang, “Mesya kata nenek moyang kita di sini, rumah yang berjendela tidak bagus.. Rumah yang berjendela membuat isi rumah keliatan. Nanti ada setan yang masuk kan bahaya,” sahut Ki Seno


Mesya yang masih ingin tahu kemudian kembali menanggapi memberikan argumennya, “Tapi pak, jendelanya kan bisa ditutup pakai jarit yang dijahit ibu..”


Ki Seno yang mendengarnya mulai merasa kesal, “Mesya dengarkan bapak, semua yang dikatakan nenek moyang adalah benar, semuanya baik untuk kita semua!”


Mesya terdiam dan meneteskan air matanya saking takutnya mendengar ucapan bapak. Ini kali pertama Ki Seno memarahi Mesya. Melihat hal itu, Ningsih mencoba menenangkan keduanya, dan menyuruh Mesya tidur.


Malam berganti pagi. Disambut kicauan burung dan hembusan udara dingin, semua kembali melakukan aktivitasnya masing-masing termasuk Mesya bermain bersama teman-temannya sehingga ia lupa kejadian semalam. Mesya dan kawan-kawan bermain di dataran yang lebih tinggi dari kampung mereka. Kelima bocah ini termasuk Mesya duduk di atas rumput sambil bermain kembang rumput untuk diadu mana yang paling kuat.


Di saat sedang bermain, Mesya yang berdiri menatap ke bawah sambil memeluk bonekanya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Melihat Mesya yang seperti itu, membuat salah satunya temannya bertanya kepada Mesya. “Mesya memikirkan apa kau? Kemari. Adu kembang rumput bersama-sama..”


Mesya menoleh dan berkata sedang tidak ingin bermain, dia memikirkan kampungnya.


“Teman-teman, menurut kalian.. Apa itu dunia luar?”


Semua temannya berhenti dan menjawab pertanyaan Mesya, “Tentu saja dunia luar sangat menyeramkan.. hihh kata bapakkku banyak setannya.”


Mesya bertanya lagi, “Cita-cita kalian ingin jadi apa?”


Pertanyaan yang membuat semua terdiam. Hampir semua menjawab ingin jadi petani bahkan ada yang bilang ingin punya istri banyak. Semua tertawa mendengarnya, lalu mereka bertanya kembali kepada Mesya apa cita-citanya.


 “Aku ingin mengubah kampung ini.”


Sontak semua terkejut mendengarnya. Namun ada juga yang kagum melihat keinginan Mesya. Di saat mereka berada di atas, tiba-tiba terlihat seorang pria berpakaian putih dengan sorban putih yang dikenakan. Pria itu berjalan menuju rumah Mesya, tak sampai masuk ke dalam. Orang itu diusir oleh Ki Seno dan warga lainnya. Mesya yang melihatnya kemudian berlari ke bawah. Sayangnya, sesampainya di bawah pria itu sudah pergi menjauh. Rasa penasaran membuat Mesya mengejar pria tersebut. Untung saja Ki Seno sudah masuk ke dalam rumah, sehingga tidak melihat Mesya yang sedang mengejar. Namun ada satu warga yang melihat Mesya.


Akhirnya Mesya mampu menyusul pria bersorban putih itu. Sambil meredakan nafasnya yang tidak beratiran, Mesya bertanya kepada pria itu. “Bapak kyai ya? Ibu sering cerita tentang kyai..”


Pria bersorban itu tersenyum dan mengatakan hal penting pada Mesya. Belum selesai mengatakan, datanglah Ki Seno beserta warga yang tadi melihat Mesya. Wajah yang marah tak mampu tertutupi, Mesya pun takut lalu Pria bersorban mencoba melindungi Mesya.


“Mesya pulang!” suara tegas Ki Seno. Bergegas Mesya menghampiri bapaknya dengan langkah kecil yang gemetaran. Mesya meminta kepada bapaknya agar melepaskan pria bersorban putih untuk pergi. Senada ancaman terus dilontarkan Ki Seno kepada pria bersorban putih agar tidak kembali ke kampung Semar. Kemudian pria bersorban putih beranjak pergi sebelum pergi, ia memperingati kepada Ki Seno dan warga kampung Semar agar berhati-hati di malam ini. Ki Seno tak memperdulikan peringatan tersebut dan ia pergi kembali ke rumah bersama Mesya.


Sesampai di rumah, Mesya dibentak oleh Ki Seno dan mengurung Mesya di kamar. Ningsih, ibu Mesya sedih melihat anaknya menangis diperlakukan seperti itu oleh Ki Seno. Ia lalu menghampiri Mesya, memeluk anaknya sambil bercerita.


“Mesya.. Dulu ibu juga seperti kamu. Berusaha mencari tahu tentang kampung ini. Berusaha mengubah kampung ini. Tapi kepercayaan orang-orang di sini sangat tinggi terutama bapakmu. Kamu tidak salah nak..” ucap Ninggsih memulihkan keadaan Mesya. Setelah Mesya tenang, ibu menyuruhnya untuk lekas tidur. Mesya meminta malam ini tuk ditemani sepanjang tidurnya dan ibunya menyetujuinya.


Semua terlelap tidur, waktu menunjukan tengah malam diiringi bunyi hewan yang ada di gunung. Kali ini bunyinya sangat gaduh yang membuat Mesya terbangun dari tidurnya. Mesya pergi melangkah ke pintu depan menilik ada keadaan di luar. Terkejut Mesya hingga ia menjatuhkan bonekanya. Mesya melihat gunung Sejati mengeluarkan lahar yang tengah mengalir ke arah kampungnya itu.  Bergegas Mesya masuk kembali dan membangunkan bapak dan ibunya. Di saat hendak membangunkan bapak, bapak tak menghiraukannya dan mengusir Mesya menganggap anaknya sedang bermimpi. Lalu Mesya menuju ke ibu dan membangunkannya dengan menjelaskan kejadian di luar. Ningsih yang begitu kaget akhirnya berlari membangunkan suaminya, tak kunjung bangun Ningsih menyipratkan segelas air kepada Ki Seno. Akhirnya Ki Seno terbangun.


Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Duarrrr.. Gunung Sejati memuntahkan batu besar beserta kerikil. Sadar situasi tidak aman, mereka mencoba membuka pintu keluar, sayangnya pintu tersebut tidak bisa terbuka lantaran terhalang batu besar yang terjatuh tepat di depan pintu. Suasana semakin mencekam, keringat dingin terus mengalir diiringi udara yang mulai memanas. Mondar-mandir sambil berpikir, akhirnya Ki Seno terbesit cara untuk menyelamatkan diri.


Ia mencoba menggali lantai rumah, tepatnya di bawah ranjang. Terus menggali hingga lubang galian setara dengan tinggi badan mereka. Ki Seno juga membuat gundukan tanah yang tinggi agar lahar tidak mengalir ke lubang, kemudian ia menyuruh istri dan anaknya masuk ke lubang. Masuklah mereka semua ke lubang dan Ki Seno masuk paling akhir kemudian menutupnya dengan ranjang dan kayu.


Menangis, Mesya menangis sejadi-jadinya. Mengkhawatirkan keselamatan teman-temannya serta warga lainnya. Ningsih mencoba meredamkan keadaan, Ki Seno pun terlihat kebingungan.


Delapan jam telah berlalu, suara sirine terdengar kencang dan banyak langkah kaki dari luar. Merasa keadaan mulai aman, Ki Seno beserta keluarganya pergi keluar. Mereka bertiga kaget melihat keadaan rumahnya yang hangus terbakar. Keadaan di luar sangat memprihatinkan, semua rumah tidak ada yang utuh satupun. Terlihat pasukan seragam oren membawa tandu dan beberapa dari mereka menghampiri Ki Seno beserta keluarga.


Mereka semua diungsikan ke tempat lebih aman. Di pengungsian, Mesya melihat seluruh warga kampung Semar berkurang bahkan ia menjumpai dua temannya terkapar kaku dengan luka bakar di sebagian tubuhnya. Sontak Mesya menangis, Ningsih menahan Mesya dan memeluknya. Perasaan Ki Seno bercampur aduk, ia tak tau harus berbuat apa.


Mesya yang dipeluk ibunya teringat nasehat dari pria bersorban yang kemudian Mesya mengatakannya kepada semua pengungsi kampung Semar.


“Semuanya dengarkan Mesya…!” semua mata tertuju padanya. Mesya menceritakan isi hatinya dan nasehat pria bersorban putih.  


“Kita tertinggal, kita kuno. Coba saja kita tidak terpaku pada tradisi ..” Mesya menjelaskan bahwa pendidikan, agama, teknologi, peradaban sangat penting. Kehidupan kampung Semar perlu diubah.


“Bagaikan jendela rumah, kita perlu melihat dunia luar. Kita perlu membuka mata dan pikiran kita. Jangan kita tutup. Mesya sedih semua seperti ini…” isak tangis Mesya dan ucapannya menyentuh semua hati warga kampung Semar termasuk Ki Seno. Melihat keberanian anaknya, Ki Seno mendukung Mesya dan meminta maaf kepada semuanya.


Usai bencana tersebut, semua penduduk disibukkan dengan sekolah dan pekerjaan yang lebih maju tanpa meninggalkan budaya mereka. Mesya senang ia dapat bersekolah dan bertemu banyak teman. Kini, kampung Semar menjadi kampung yang sangat maju. Bahkan lebih maju dari kota-kota di sekitarnya.


 


Penulis             : Hud Salam


Editor              : Fatih Amrulloh

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post