Rayuan Terakhir

ilustrasi: Aolia Inas Sabira

Aku hanya Harun, dan Kau Lia. 

Tapi, izinkanlah kutuliskan sebuah legenda, untuk mendongengkan harapku sebagai penghantar lelapmu. Mari kukenalkan dengan perasaan-perasaan yang tanpa diupaya muncul begitu saja, selayaknya gulma-gulma di persawahan desa-desa, tumbuh tak diinginkan, orang-orang hanya mewajarkan tanamannya sendiri. 

Jadi begini, nona...

...

Suatu ketika, gemparlah Ayodhya, awan hitam berkumpul mengepul mengundang sajak indra, menggelegar sahut menyahut menabur kalut beriringan genderang perang. Bagaimana tidak? Tahta Ratu melompong, menyisakan sorot redup surya yang baru saja merayap naik singgasana. Sinta dinyatakan diboyong menuju Ngalengka. Isak tangis kekasih menjadi, menguaplah sedih di atap pualam putih.

Gelisahlah Raja, menuangkan setiap duka yang mengalir di benak rakyatnya, legenda cinta kehilangan hasratnya, hanya tersisa selendang wangi tubuh sang pujaan asmara. Amarah membuncah memenuhi setiap kabut kegelisahan, hatinya seperti dihujam jutaan mata panah sewaktu dengar; sepuluh muka menyeret lengan kasihnya. Sumpah serapah tertebar menyesakan alam semesta menyibukan tugas dewata, menyisakan kahyangan yang lengang sebab kebisingan.

Pelecehan ini akan jadi sumbu tumpah darah di Ngalengka!

Sebuah kalimat serak melayang dari bibir Rama Wijaya, Putra Dasarata yang masih basah akan kalimat pengutukan, menembus relung setiap yang mendengar, membakar apa yang sanggup terbakar. Api asmara menjelma gelora kabut asap, dengan cepat merebak memenuhi seluruh Kosala, membangunkan pedang Ksatria perang, yang lama dinina bobokan kesejahteraan. Sakit hati Raja adalah sakit hati rakyatnya, jika pujaan hati diculik dari negeri, maka tebuslah walaupun dihargai dengan mati. 

...

Kehadiran Sinta di Ngalengka menjadi petir di tengah siang yang terik. Raja tiga garwa memboyong Ratu negeri seberang yang telah diikat cincin jari manisnya. Perkara ini, membentang kebingungan dalam istana, bendera perang dikibarkan hanya karena wanita.

‘’Aku mengibarkan bendera perang karena kuboyong permata dunia nan kahyangan, bukan sekedar wanita, dan sebab cintaku membersamainya.’’

Merah padam wajah yang tidak bisa diartikan sebagai wajah tersipu malu, mendeklarasikan kalimat yang menuai kebingungan bagi petinggi kerajaan, Raja mereka dimabuk cinta, apa mereka harus ikut menenggak anggur? Namun anggur asmaralah yang sedang menggilakan Rahwana. Cawannya terlalu kecil untuk asmara yang terus Sinta tuang tanpa keinginannya.

‘’Kupenggal mereka yang menentang asmaraku. Sinta adalah jantungku, dan jika jantungnya berdetak pada pihak lain, bahkan jika Sang Hyang Widi sekali pun, maka tetap  lah aku tantang. ‘’

Rahwana bawa surganya ke Ngalengka, sedang ia menggelar palagan sebagai harga tebusannya, baginya, dunia telah mewajarkan pertaruhan, serta jual beli. Tapi neraka siap menyala di Ngalengka, dirundingkanlah mabuknya sang Raja, guna mencari penawar menyadarkannya. Suara berat mulai terdengar memecah kegelisahan, Kumbakarna memaksa mengembalikan Ratu Ayodhya.

‘’Kakang, mengapa kau tuang akal sehatmu dan tresnamu untuk menyirami mawar yang mekar dari pupuk orang lain sedang kau berkubang dalam lumpur dan menggelar neraka ditanah hijau Ngalengka, api asmaramu hanya angin lalu, kakang.’’  Sinta melobykan renung

Namun, Rahwana telah menutup telinganya, membisukan mulutnya, dan memburamkan pandangannya, sejak Sinta menyalakan cinta dihatinya. Bagi Rahwana, Sinta adalah rembulan, apapun yang menutupi sinar purnama, selalu halal disingkirkan, entah itu awan hitam atau bahkan Sang Hyang Tunggal sekalipun. Rahwana sudah tenggelam, setiap ucapan-ucapan yang ingin menawarnya tidak memadamkan nyala api itu, dan saat kalimat mereka berakhir, lautan api itu menyala menjadi lebih besar dari sebelumnya, matanya makin buta, mulutnya makin bisu, dan telinganya hanya mendengar sabda Sinta.

Kebutaan Rahwana akan cinta ini jelas semakin menjadi, terlalu murah tumpah darah harganya untuk menebus belahan jiwa. Keluarga sudah berulangkali mengingatkan, bahwa telah Rahwana undang ajalnya sendiri. Namun, pecinta macam apa yang menganggap ancaman dari kematian adalah penting? Seorang yang hatinya sudah terbakar habis api asmara bahkan akhir dunia tidak akan gentar dihadapi. Seorang pria yang mengejar kasihnya tidak akan pernah takut berhadapan dengan dunia dan segala peliknya. 

Beranjaklah Rahwana pada purnama hidupnya, yang tengah disuguh buah dan musik surgawi, telah Rahwana boyong Kahyangan ke Argasoka untuk kasihnya. Hanya isak tangis yang mengiringi lantunan tambura seindah petikan Narayana. Citraan itu makin menyentak hati Sang Muka Sepuluh, purnama yang dia harap sinarnya justru redup dihadapannya. Rahwana telah terlempar jauh dalam sisi buta asmara, dia tidak menginginkannya, namun rantai besi nan kokoh mengikatnya kuat, melepas belenggu  benar-benar diluar aji-ajiannya. Dia telah menjual dirinya, menjadi budak cinta, dan itulah takdirnya, bukan harapannya. Bulan bersinar bukan karena dia ingin bersinar; pun matahari terbit bukan karena dia ingin, tidak ada satu pun yang lepas dari takdir dewata, dan takdirlah yang kini meletakan batu besar di pundak Rahwana hingga sujudnya hanya teruntuk Sinta. 

‘’Kang mas, tidakah kau lihat taman bunga di Ngalengka? tak perlu sampai kau bawa bunga yang paling dijaga di Kosala untuk menghijaukan hatimu. Kau telah mengundang prahara dan ajalmu sendiri, wahai Prabhu Dasamuka. ‘’

Kumbakarna yang masih berupaya meredam mabuk kakaknya, mencegat langkah gontai Rahwana di mulut taman. Namun apa yang jadi harap? Semua entitas di dunia kini hanya angin lalu bagi Rahwana, yang nyata hanya Sinta dan cintanya. Tubuh kekarnya hanya sekedar cangkang saja, kini jiwanya layu, dia hanya berjalan mengikuti arah angin berhembus walaupun jalannya berduri bahkan dari bara Yamadipati.

’Mana api neraka? Mana busur Rama Wijaya? Mana Bathara Yamadipati? Biarlah menghujam tubuhku! Sinta adalah rembulan, apa-apa yang jadi penghalang, maka selalu sanggup aku singkirkan, biar langit melebur tubuhku. Jiwaku sudah mati! Begitupun diriku sudah mati, maka jika seperti itu, biarlah, setidaknya karena Sinta, aku menyerahkan nyawa, walaupun jiwaku dikutuk di neraka, namaku dikutuk di dunia. ''

Dan seperti itulah jalan Sang Pujangga Cinta, perang dan mati bukanlah apa. Tepat Bathara Surya merebahkan tubuh rentanya, bala wanara tumpah seperti air bah yang menenggelamkan daratan. Dalang mencapai puncak birahinya, Ksatria dua negeri memperebutkan kehormatan dan sang rembulan. Beranjaklah Rahwana dari mahkotanya, dan sebelum menjemput ajal, ditemuilah sang anggur asmara.

‘’Tak sedikitpun tanganku menyentuh kulitmu, tak sedikitpun suaraku mengganggu lelapmu, dan kau tau itu. Dunia akan menghukumi namaku, sampai kiamat melumat semestaa, dan Rama akan mengirimku ke neraka. Kembalilah pada tamanmu, aku telah menghalangi sinarmu, dan kematian penghalang sinarmu adalah sumpahku.’’

Kalimat pungkasan dari Raja Ngalengka mengawang memenuhi setiap sela Argasoka yang lengang sore ini. Menyisakan Sinta yang masih memaku tatapnya pada tanah, tak kuasa mengedarkan sorot matanya pada sosok besar yang berdiri membelakangi. Diam menyelimuti taman yang remang mengundang kawanan kunang-kunang. Hati mereka berkomunikasi berkat besar asmara Rahwana.

‘’Wahai raja Ngalengka, hari ini surya tak benderang, begitupun hari-hari kemarin. Percayalah saat dunia menafsirkan sebab sedihku, aku mengatakan itu sebab besar kasihmu. Aku persembahkan sinarku sore ini, yang akan jadi peneduhmu di neraka dan mengiringi penghukuman namamu di dunia. ‘’

Setelahnya Ngalengka adalah legenda palagan cinta Rahwana untuk Sinta, jiwa bahkan tubuhnya tak pernah kembali ke dunia, hanya tersisa nama dan penjaranya. Setiap namanya disebut, maka nama Sinta datang mengiringi, memberikan peneduhan. Begitulah akhir kisah seorang ambisius asmaraloka, Prabhu Dasamuka.

...

Bulan mencapai tahtanya, suara jangkrik makin berderik, semesta mengasingkanku malam ini. Tubuhku masih terasa dingin, lamat-lamat tatapanku mulai meraba dinding yang masing lengang, meyaksikan gemetar tubuh dan tanganku menuliskan sebuah kisah legenda asmara. Cerita pendek ini akan menjadi rayuan terakhirku. Aku bukan Rahwana dan kau bukan Sinta, Aku bukan Majnun dan kau bukanlah Layla, sekali lagi, aku hanya Harun dan kau Lia.

Aku hanya sebuah debu dalam langkah kakimu, yang menghamba pada setiap debur nafasmu. Maka aku hanya mampu merayu paras ayumu, dan kamu tumbuhlah dengan pupukmu, air mataku akan mengalirinya turut mengairi. Setelahnya pamitku yang hanya hembus angin, biarlah menyejukanmu, kasih.


Penulis: Ade Arifin Yusuf
Editor: Lubna Laila

2 Comments

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post