Dilema Teknologi AI, Pemerintah Perlu Membenahi Regulasi



LPM Saka- Hidup lagi capek-capeknya, diambang quarter life krisis, eh algoritma sosial media saya isinya isu-isu seputar kecerdasan buatan. Hadeuh. Sekelas presiden Joko Widodo yang jam terbangnya super duper padet, masa iya bisa kober buat meng-cover lagu-lagu Tiara Andini, Iwan Fals, dan seterusnya? 


Tidak hanya sampai disitu, progresifitas kecerdasan buatan juga merambah semerbak di berbagai tema aspek seluruh kehidupan manusia. Kita bisa mengobrol dengan orang yang sudah tiada, ya meskipun jiwa tersebut bukanlah sebetul-betulnya ada sungguhan. Melainkan rekayasa teknologi,  yang menyerupai, tetapi cukup lah ya, mengobati rasa kangen. Kita juga bisa disarankan dalam perihal jodoh, perihal perceraian dan seterusnya. Wah, lama-kelamaan, kecerdasan buatan benar-benar hampir melampaui kedunguan manusia. 


Baru-baru ini pruduk yang sedang diperbincangkan di dunia digital adalah Chat GPT, daftar kehebatanya cukup mencengangkan manusia. Ia bisa membuat ide konten kreator, gagasan tulisan, teks pidato, bahkan sampai mencari berbagai informasi yang akurat. 


Tentu hal ini sangat lah memudahkan pekerjaan manusia, namun di lain sisi, beberapa pekerjaan manusia semakin tergeser oleh mesin. Bayangkan kita bekerja di industri kreatif, -influencer katakan lah-. Manusia merupakan makhluk yang memiliki daya lelah, butuh istirahat, bisa sakit, tidak bisa jika ditekan terus menerus sebab rawan terkena gangguan kesehatan mental. 


Sementara kecerdasan buatan  mampu ditekan sedemikian rupa, tidak perlu dikasih makan, dikasih gaji, ia lebih efisien untuk dimanfaatkan jika untuk meminimalisir ketenaga kerjaan. Maka kita sudah bisa menebak bukan? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Manusia akan tergantikan posisinya. 


Meski pun demikian tidak semua orang menggunakan kecerdasan buatan dengan bijak, hoaks dan disinformasi menjadi merebak. Dari sini lah dimulai protes dari berbagai pihak, dilema teknologi menuntut pemerintah untuk turut andil dalam membahas dan  mengkajinya.


Di beberapa negara seperti Inggris, Otoritas persaingan usaha tengah mengupayakan peninjauan terhadap pengembangan dan  persaingan di dalam pasar kecerdasan buatan. Sementara di China dan Uni Eropa yang telah maju, mereka segera menyusun peraturan dan regulasi untuk mengatur pengembangan AI. 


Dampak Membahayakannya AI dan Langkah yang Harus ditempuh Birokrasi. 

Sisi lain dari keefisienan teknologi ternyata menyimpan masalah terselubung seperti pencurian karya, diskriminasi, radikalisasi sejumlah oknum anggota komunitas, hingga kecelakaan. 


Lembaga pemikir The Future of Life Institute menginisiasi permintaan penundaan sekitar enam bulan terkait pengembangan kecerdasan buatan, beberapa waktu lalu sejumlah tokoh telah membuat surat terbuka mengenai ketidak sepakatannya. Mereka mengatakan, keputusan tersebut berdasarkan dua belas peneliti para ahli, termasuk akademisi Universitas serta mantan karyawan OpenAI, Google , dan anak perusahaannya, DeepMind. 


Dalam  salah satu tulisan editorial Dewan redaksi Financial Times, yang berjudul ‘’AI Needs Superintellegent Regulations’’ dijelaskan bahwa, mereka memandang berbagai sisi resiko yang mematikan dari kecelakaan yang timbul dari kecerdasan buatan. Mereka merekomendasikan agar pemerintah setiap negara membuat regulasi demi pengembangan AI lebih lanjut. 


Senada dengan hal tersebut, The Godfather of AI, yakni Geoffrey Hinton mengemukakan bahwa teknologi tersebut tidak dibangun untuk kebaikan semua orang, kompetisi yang ditimbulkan oleh AI akan membuat kaum kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin ketika belum ada pedoman etis pengembangan AI yang jelas. 


Lantas bagaimana sebaiknya pemerintah mengambil langkah? 

Pertama -tama industri teknologi diarahkan untuk menyetujui dan menngimplementasikan prinsip umum mengenai transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengembangan AI. 


Kedua, seluruh alat pengatur di bidang seperti ketenagakerjaan, pasar keuangan, kebijakan persaingan usaha, perlindungan konsumen, privasi, perlindungan data, dan hak asasi manusia, selayaknya diubah setelah mempertimbangkan resiko spesifik dampak AI. 


Ketiga, lembaga pemerintah dan universitas seyoganya memperdalam keahlian teknologi mereka sendiri guna memahami upaya-upaya meminimalisir impack negatif di industri tersebut. 


Selain itu, pemerintah Indonesia perlu mengumpulkan pimpinan perusahaan  teknologi guna mendengarkan sudut pandang mereka, untuk kemudian mengeluarlan saran-saran standar, khususnya perihal transparansi dan penghormatan hak asasi. (*)


Penulis : Lubna Laila


Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post