Sejarah Literasi dalam Republica Literaria
Oleh Romi Zarida*
Ketika
melihat hujan apa yang anda fikirkan? Apakah
hujan hanya dilihat sebagai fenomena alam biasa atau bermakna lebih dalam? Pemaknaan terhadap hujan akan berbeda-beda tergantung pada kegiatan literasi apa
yang sudah kita lakukan mengenai hujan.
Wacana tentang budaya literasi selalu
menjadi tema menarik bagi dunia akademisi.
Walaupun sebenarnya tidak perlu menjadi akademisi untuk
membahas literasi.
Ane Permatasari,
dosen asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
mengungkapkan tingginya
tingkat literasi suatu wilayah berhubungan vertikal dengan kualitas wilayah
tersebut.
Menurut Martin Suryajaya, seorang filusuf kontemporer Indonesia
menyebutkan inti dari
literasi adalah kegiatan manusia untuk mengkonsumsi dan memproduksi kebudayaan.
Pada pengertian sempit,
literasi hanya dimaknai ketika seseorang sudah “melek aksara” yang kemudian dipahami memliki keterampilan dalam
membaca dan menulis.
Namun ketika menilik definisi Martin Suryajaya berarti bahwa sebenarnya praktek
literasi harus lebih luas seperti budaya membaca, menonton film, melihat
pertunjukan seni dan masih
banyak lagi.
Sejarah
Pemikiran Literasi
Pada konteks peradaban barat terutama
daerah Eropa di abad 17 – 18 Masehi gerakan literasi sudah mulai muncul dan meluas. Gerakan ini kemudian disebut
Republik Sastra atau
dalam bentuk Latinnya Respublica Literaria sementara dalam
Bahasa Inggris biasa disebut Republic of Letters.
Republik tersebut adalah sebuah komunitas intelektual jarak jauh. Mereka
merupakan kumpulan imajiner yang saling
berhubungan dan berjejaring satu sama
lain dengan wilayah yang sangat luas dari Eropa Barat sampai perbatasan Rusia
bahkan Asia Minor. Hubungan di
dalam
republik tersebut bisa terjalin karena berbagai penyebab, diantaranya :
Pertama,
sudah ditemukannya mesin ketik. Abad ke 14 berperan
penting dalam proses booming literasi di Eropa
yaitu ketika Johannes Gutenberg
menciptakan mesin cetak. Gutenberg merupakan seorang pandai besi yang
mengembangkan mesin cetak buku dari mesin press anggur atau wine. Sebelum Gutenburg menciptakan
mesin untuk mencetak buku secara cepat, para intelektual biasanya menulis buku
dan menduplikatnya dengan cara ditulis ulang. Jika tidak ditulis oleh dirinya maka pada zaman itu ada seorang
yang bekerja untuk menuliskan ulang,
biasanya
disebut dengan copys.
Kekurangan dari proses tersebut tentunya
bersifat time consuming walaupun
hanya untuk mengcopy satu buku.
Ketika mesin cetak ini sudah dipakai maka munculah revolusi besar – besaran
dalam dunia perbukuaan di Eropa. Buku
jadi lebih mudah didapat dengan ongkos yang lebih murah.
Kedua,
jaringan surat menyurat antar intelektual.
Korespondensi para intelektual menyebabkan tersebar luasnya pemikiran –
pemikiran yang sedang berkembang di
masa
tersebut. Sebagai contoh Marin Mersenne,
seorang teman korespondensi dari Rene Descartes asal Prancis mempunyai
jaringan sebanyak 700 orang. Selama
hidupnya mereka saling surat menyurat
mengenai ilmu yang sedang berkembang.
Ketiga,
kedai kopi sebagai tempat transaksi intelektual. Adanya gelombang kolonisasi
orang Eropa ke belahan dunia lain seperti Amerika dan Asia menyebabkan orang-orang pada masa itu
saling bertemu dalam satu bahasan komoditas unik seperti teh dan kopi. Republic
of letters juga terbangun
dari kedai – kedai kopi. Dimana kedai
tersebut berisi orang – orang dari berbagai
daerah bukan hanya Eropa.
Buku The Cambridge History of Science : Volume 3 sebenarnya berisi
tulisan sejarawan sains, salah satunya Adrian
Johns. Dalam tulisanya berjudul Coffee
Houses and Print Shop menjelaskan bahwa
cafe dan rumah percetakan berpengaruh besar terhadap republik
literasi. Coffe shop menjadi tempat upaya intelektual mulai dari filsafat alam
seperti temuan terbaru mengenai jenis tumbuhan atau hewan. Di dalam cafe terjadi
saling tukar menukar informasi, berdebat mengenai ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang
sampai berkelahi.
Tinjauan
Lebih Jauh Soal Literasi
Satu hal penting dari literasi yang
diajarkan dalam konteks sejarah barat adalah bahwa literasi bukan hanya soal tulis menulis
tetapi lebih jauh dari itu literasi bisa digunakan sebagai aktivitas mengasah
budi pekerti. Konsep pembentukan budi pekerti ini dikenal dengan istilah Cultural Refinement, di mana setiap orang harus
menumbuhkan kepekaan pribadi terhadap dunia sekitar.
Literasi membuat seseorang bisa
mengambil sikap atas apa yang ada di
dunia
berdasarkan literasinya.
Entah dari membaca, menonton, atau merasakan. Baik karya,
karsa, maupun lainnya. Ketika seseorang sudah
mengambil sikap,
maka syaratnya harus mempunyai kepribadian.
Sementara itu, kepribadian tidak bisa dicontoh satu
sama lain.
Semakin banyak informasi atau
pengetahuan yang didapat, maka kita akan semakin
halus kepribadiannya. Semakin
bisa mempersepsi apa yang ada di sekitar kita.
Kembali di awal, ketika kita melihat
hujan maka jawaban setiap orang
akan berbeda. Antara
seseorang yang sudah membaca dan menyerap karya Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono dengan yang belum membacanya.
Dimana hujan akan terasa sangat
lembut dan bermakna lebih dalam.
*) Romi Zarida, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam 2017 (Kontributor)
Editor :
Ulfatul Khoolidah
Post a Comment