Sejarah Literasi dalam Republica Literaria

 

Ilustrasi : Pexels.com

Oleh Romi Zarida*


Ketika melihat hujan apa yang anda fikirkan? Apakah hujan hanya dilihat sebagai fenomena alam biasa atau bermakna lebih dalam? Pemaknaan terhadap hujan akan berbeda-beda tergantung pada kegiatan literasi apa yang sudah kita lakukan mengenai hujan.


Wacana tentang budaya literasi selalu menjadi tema menarik bagi dunia akademisi. Walaupun sebenarnya tidak perlu menjadi akademisi untuk membahas literasi. Ane Permatasari, dosen asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengungkapkan tingginya tingkat literasi suatu wilayah berhubungan vertikal dengan kualitas wilayah tersebut.


Menurut Martin Suryajaya, seorang filusuf kontemporer Indonesia menyebutkan inti dari literasi adalah kegiatan manusia untuk mengkonsumsi dan memproduksi kebudayaan. Pada pengertian sempit, literasi hanya dimaknai ketika seseorang sudah “melek aksara” yang kemudian dipahami memliki keterampilan dalam membaca dan menulis. Namun ketika menilik definisi Martin Suryajaya berarti bahwa sebenarnya praktek literasi harus lebih luas seperti budaya membaca, menonton film, melihat pertunjukan seni dan masih banyak lagi.


Sejarah Pemikiran Literasi

Pada konteks peradaban barat terutama daerah Eropa di abad 17 – 18 Masehi gerakan literasi sudah mulai muncul dan meluas. Gerakan ini kemudian disebut Republik Sastra atau dalam bentuk Latinnya Respublica Literaria sementara dalam Bahasa Inggris biasa disebut Republic of Letters.


Republik tersebut adalah sebuah komunitas intelektual jarak jauh. Mereka merupakan kumpulan imajiner yang saling berhubungan dan berjejaring satu sama lain dengan wilayah yang sangat luas dari Eropa Barat sampai perbatasan Rusia bahkan Asia Minor. Hubungan di dalam republik tersebut bisa terjalin karena berbagai penyebab, diantaranya :


Pertama, sudah ditemukannya mesin ketik. Abad ke 14 berperan penting dalam proses booming literasi di Eropa yaitu ketika Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak. Gutenberg merupakan seorang pandai besi yang mengembangkan mesin cetak buku dari mesin press anggur atau wine. Sebelum Gutenburg menciptakan mesin untuk mencetak buku secara cepat, para intelektual biasanya menulis buku dan menduplikatnya dengan cara ditulis ulang. Jika tidak ditulis oleh dirinya maka pada zaman itu ada seorang yang bekerja untuk menuliskan ulang, biasanya disebut dengan copys.


Kekurangan dari proses tersebut tentunya bersifat time consuming walaupun hanya untuk mengcopy satu buku. Ketika mesin cetak ini sudah dipakai maka munculah revolusi besar – besaran dalam dunia perbukuaan di Eropa. Buku jadi lebih mudah didapat dengan ongkos yang lebih murah.


Kedua, jaringan surat menyurat antar intelektual. Korespondensi para intelektual menyebabkan tersebar luasnya pemikiran – pemikiran yang sedang berkembang di masa tersebut. Sebagai contoh Marin Mersenne, seorang teman korespondensi dari Rene Descartes asal Prancis mempunyai jaringan sebanyak 700 orang. Selama hidupnya mereka saling surat menyurat mengenai ilmu yang sedang berkembang.


Ketiga, kedai kopi sebagai tempat transaksi intelektual. Adanya gelombang kolonisasi orang Eropa ke belahan dunia lain seperti Amerika dan Asia menyebabkan orang-orang pada masa itu saling bertemu dalam satu bahasan komoditas unik seperti teh dan kopi.  Republic of letters juga terbangun dari kedai – kedai kopi. Dimana kedai tersebut berisi orang – orang dari berbagai daerah bukan hanya Eropa.


Buku The Cambridge History of Science : Volume 3 sebenarnya berisi tulisan sejarawan sains, salah satunya Adrian Johns. Dalam tulisanya berjudul Coffee Houses and Print Shop menjelaskan bahwa cafe dan rumah percetakan berpengaruh besar terhadap republik literasi. Coffee shop menjadi tempat upaya intelektual mulai dari filsafat alam seperti temuan terbaru mengenai jenis tumbuhan atau hewan. Di dalam cafe terjadi saling tukar menukar informasi, berdebat mengenai ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang sampai berkelahi.


Tinjauan Lebih Jauh Soal Literasi

Satu hal penting dari literasi yang diajarkan dalam konteks sejarah barat adalah bahwa literasi bukan hanya soal tulis menulis tetapi lebih jauh dari itu literasi bisa digunakan sebagai aktivitas mengasah budi pekerti. Konsep pembentukan budi pekerti ini dikenal dengan istilah Cultural Refinement, di mana setiap orang harus menumbuhkan kepekaan pribadi terhadap dunia sekitar.


Literasi membuat seseorang bisa mengambil sikap atas apa yang ada di dunia berdasarkan literasinya. Entah dari membaca, menonton, atau merasakan. Baik karya, karsa, maupun lainnya. Ketika seseorang sudah mengambil sikap, maka syaratnya harus mempunyai kepribadian. Sementara itu, kepribadian tidak bisa dicontoh satu sama lain.


Semakin banyak informasi atau pengetahuan yang didapat, maka kita akan semakin halus kepribadiannya. Semakin bisa mempersepsi apa yang ada di sekitar kita.


Kembali di awal, ketika kita melihat hujan maka jawaban setiap orang akan berbeda. Antara seseorang yang sudah membaca dan menyerap karya Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono dengan yang belum membacanya. Dimana hujan akan terasa sangat lembut dan bermakna lebih dalam.



*) Romi Zarida, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam 2017 (Kontributor)


Editor : Ulfatul Khoolidah

1 Comments

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

  1. Tulisannya mirip sekali dengan apa yang dikatakan Martin Suryajaya. Transkrip apa bagaimana ini?

    ReplyDelete

Post a Comment

Apa pendapat kamu mengenai artikel ini?

Previous Post Next Post